Sambil
bersih-bersih blog yg agak atau bahkan sudah sangat berdebu ini, saya mau
sedikit cerita tentang kenapa sampai akhirnya blog ini disentuh lagi sama
empunya. :D
Sebenarnya,
ini bukan kali pertama saya mau menulis kembali. Tapi, setiap niat itu
bersarang di dada bahkan ubun-ubun sudah terisi penuh, saat itu pula panggilan
untuk menyelesaikan tugas akhir alias skripsi lebih menggoda hasrat untuk
diselesaikan. Nah, baru setelah skripsi selesai disidangkan pada ujian
munaqasyah pekan lalu barulah blog ini tersentuh lagi. Dengan ini, saya juga
mau
menyampaikan ucapan maaf pada blogku ini, “maaf, kamu jadi korban jablay
akhir-akhir ini”. :D
O iya…blognya
sudah bersih kan ?
Nah..kalo
gitu, saya langsung saja. Kali ini saya mau berbagi cerita kepada teman-teman
tentang salah satu berkah ramadhan yang saya dapatkan di tahun ini. Intinya,
tidak jauh dari apa yang telah saya utarakan sebelumnya. Kalo ada yg menjawab
“skripsi”, betul !
Tepatnya
pekan lalu, Rabu (2/7/2014). Akhirnya, gelar kesarjanaan stratpecaku bisa
disandang juga dibelakang nama. Setelah berjuang selama kurang lebih 3 tahun 10
bulan, menempuh pendidikan di bangku kuliah, akhirnya perjuangan dan
pengorbanan terbayarkan sudah. Kata “terbayarkan” bukan berarti puas atas apa
yang telah dicapai. Namun, “terbayarkan” dalam hal ini lebih mengarah kepada
rasa syukur atas kelancaran dari Yang Maha Kuasa atas jalan yang telah
ditempuh.
Rasanya
seperti mimpi saja saya bisa berada di titik ini. Setiap merasa demikian, atau
setiap ada orang di sekeliling yang memberi selamat, tiba-tiba waktu bergerak
mundur mengajakku flashback ke
masa-masa ketika status mahasiswi kuperebutkan bersama ratusan ribu calon
mahasiswa lain. Tepatnya, empat tahun lalu. Suka duka saat mengikuti tes untuk
masuk perguruan tinggi negeri tergambar jelas (kembali) di pelupuk mata.
Keraguan atas jurusan yang dipilih pun masih teringat jelas. Belum lagi, ketika
memasuki semester keempat, niat untuk meninggalkan kampus dan beralih ke kampus
berstatus ikatan dinas menjadi pilihan yang tepat bagi saya waktu itu. Niat dan
usahaku waktu itu betul-betul bulat, kulupakan semua perjuanganku untuk masuk
perguruan tinggi negeri. Demi masuk sekolah tinggi ikatan dinas, saya rela
meninggalkan pelajaran-pelajaran yang menjadi kewajibanku di kampus waktu itu.
Meskipun, tugas-tugas tetap kukerjakan namun siang dan malam waktuku lebih
banyak kuhabiskan untuk menguasai berbagai soal dalam menghadapi ujian tes
masuk sekolah tinggi ikatan dinas tersebut. Sampai akhirnya saya jatuh sakit
dan diharuskan op name oleh dokter. UTS di kampus pun harus saya tinggalkan
dalam masa penyembuhan itu. Namun, takdir berkata lain. Saya dinyatakan gagal
masuk sekolah tinggi ikatan dinas tersebut, dan yang lebih mencengangkan, nilai
IPS (Indeks Prestasi Semester) saya di semester empat tersebut merangkak naik
mencapai batas maksimal, 4.00. Sebuah angka fantastis untuk perjalanan yang
begitu terabaikan, menurut saya.
Sekarang,
melihat nama telah dibubuhi gelar sarjana sosial (S.Sos), saya cuma bisa
senyum-senyum sendiri mengingat berbagai pengalaman panjang yang telah kulalui di
kampus hijau berperadaban di tanah Gowa bersejarah ini.
Memang,
ini bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan begitu banyaknya orang di luar
sana yang telah lama meraih apa yang telah kuraih ini bahkan mungkin lebih dari
apa yang kuraih. Namun, satu hal yang tidak bisa dibandingkan. Proses. Tidak
semua manusia meraih hasil dengan proses yang sama. Hampir sama mungkin ada.
Tapi, persis sama saya rasa tidak mungkin.
Kembali
ke pekan lalu. Masih tergambar jelas raut wajah kedua orang tua ketika saya
akan memasuki ruang sidang. Saya tahu persis, mereka lebih was-was dibanding
saya. Namun, ada saat yang tak kalah bahagianya ketika tahu saya sudah keluar
dari ruang sidang membawa status lulus dengan nilai yang memuaskan. Mereka
berdua menyambutnya dengan suka cita yang luar biasa. Mereka berdua kompak
mengacungkan tangan memberi selamat kepada saya sambil berkata, “selamat,
sarjana muda!”.
Tak
sedetik pun raut wajah mereka lepas oleh senyuman pada hari itu. Saya pun tahu,
dalam hati mereka ada rasa bangga yang luar biasa atas pengorbanan yang telah
mereka berikan untuk saya. Kesabaran mereka terbayar lunas hari itu. Kelak,
ketika perayaan wisuda digelar, insya Allah akan kulihat senyum yang lebih
bahagia dari biasanya.
Berharap,
kebahagiaan mereka tak berhenti sampai disini. Setelah ini, target-target hidup
yang sudah kurencanakan semoga selalu memberikan kontribusi atas kebahagiaan
mereka. Semoga, pencapaian-pencapaianku yang lebih berarti kedepannya bisa
lebih membuat mereka bangga.
0 komentar:
Posting Komentar