Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Blogger Template From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selamat Membaca dan Terima Kasih atas Kunjungannya

Selasa, 30 Oktober 2012

My October


Beberapa bulan yang lalu, bertepatan libur panjang semester dan libur lebaran Idul Fitri 1433 H sepertinya meninggalkan beberapa pengalaman yang tampaknya sayang jika saya lewatkan untuk dijadikan bahan berbagi kepada teman-teman. Libur kali itu sangat berbeda dari liburan semester sebelum-sebelumnya. Kalau dulu liburnya harus tetap ke kampus dan menjalankan tugas-tugas ekstra di fakultas, kali ini kebanyakan menghabiskan liburan di kampung sambil menikmati sejuknya kota kembang sekaligus melibatkan diri dalam kegiatan Amaliyah Ramadhan di masjid dekat rumah. Bukan hanya itu kegiatan saya, bahkan membantu Tetta untuk
mencat rumah pun saya turun langsung. Rupanya, prediksi saya bahwa mengahabiskan liburan di kampung hanya akan melakukan aktivitas yang biasa-biasa saja salah. Ternyata, liburan di kampung jauh lebih meninggalkan banyak pengalaman.

Pengalaman yang teringat jelas menjelang pertengahan liburan yang pada saat itu bertepatan dengan puasa ramadhan, sore hari sambil ngabuburit istilahnya saya iseng-iseng online, buka akun facebook, sambil ngecek status-status facebookers yang sudah terdaftar dalam pertemanan saya, dan tidak ketinggalan meng-klik gambar ketiga di sisi kiri atas yang biasanya muncul dengan angka berwarna merah, apalagi kalau bukan notification atau pemberitahuan. Sambil membaca satu persatu pemberitahuan yang masuk, saya tertarik dengan sebuah postingan seorang teman di sebuah grup yang berisi pengumuman Lomba Penulisan Cerpen Ramadhan yang dilaksanakan oleh LP3I. Syaratnya pun cukup simple, alhasil sejak hari itu saya mulai nulis cerpen lagi setelah beberapa tahun vakum *ceileehh..bahasanya :D*.



Cerpen pertama pun akhirnya menemukan ending. Ternyata ke-vakum-an saya menulis cerpen tidak membuat saya membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya. Edit ini itu, dan akhirnya saya posting juga malam harinya. Keesokannya, saya seakan hilang ingatan bahwa hari sebelumnya saya sudah memposting sebuah cerpen, jadilah saya mengabaikan untuk mencari pembaca sebanyak-banyaknya, sementara pada pengumuman sudah dijelaskan bahwa penilaian membutuhkan pembaca dalam jumlah yang banyak. Banyaknya tergantung dari cerpen yang memiliki jumlah pembaca tertinggi. Setelah seminggu, saya baru ingat akan hal itu. Mulailah saya men-share link cerpen saya, entah itu via Twitter dan Facebook saya gunakan semua. Tapi, karena telat melakukan gerakan-gerakan ini, jadilah cerpen saya hanya punya beberapa pembaca. Sampai akhirnya saya bosan sendiri dan kembali mengabaikannya, berhubung saat itu liburan sudah akan berakhir. Otomatis, perhatian saya teralihkan untuk menyiapkan diri memasuki semester baru sambil pasrah dan berserah diri. :D

Nah, beberapa hari yang lalu, tiba-tiba cerpen ini seakan mengusik pikiran saya kembali. Ingatan saya tertuju pada hari pengumumanlomba tersebut. Saya kembali iseng buka facebook, dan mengetik fanpage kampus LP3I, berharap pengumumannya sudah ada. Ternyata, memang sudah ada dan sudah terposting sejak beberapa hari yang lalu di wall mereka. Membaca deretan nama yang menjadi pemenang 1,2,dan 3 saya hanya bisa menyunggingkan sebuah senyuman manis bercampur kecut melihat namaku tak ada disana. Kasihan ! Setelah menghayati satu persatu nama tersebut pandangan saya kemudian beralih pada nama-nama yang terdaftar sebagai nominator 10 cerpen favorit. Satu persatu saya teliti lagi nama-nama tersebut, dan saya terhentak ketika nama saya ada di urutan “terakhir” dalam nominator cerpen favorit tersebut. Nyengir sendiri, sambil mengucap syukur. Kali ini karya saya akhirnya dapat piagam plus tiga eksemplar buku sebagai hadiah, entah itu buku apa karena barangnya belum sampai ke tangan saya alias masih dalam proses pengiriman.

Meskipun jadi yang terakhir, setidaknya ada ratusan karya yang telah disingkirkan oleh cerpen yang bertajuk “Sepenggal Kata Pertama Untuk Ayah”. Sebenarnya, tidak hanya satu cerpen yang sempat saya ikutkan. Cerpen kedua pun kembali berhasil menemukan endingnya yang bertajuk “Pesan Terakhir Untukku"



Pengen baca ? Nih, saya posting juga deh buat teman-teman.


Sepenggal Kata Pertama Untuk Ayah 



Matahari Sore hari ini nampaknya tengah berusaha memancarkan sinar-sinar bahagianya. Seraya berusaha memancarkan semangat untuk seluruh makhluk Allah di jagat raya ini. Tak terkecuali kepada seorang gadis remaja yang terlihat murung di sudut kamarnya. Nampaknya, fikiran gadis itu melayang entah kemana. Yang pastinya, raut wajahnya kali ini terlihat sangat kontras dengan kepribadiannya sehari-hari yang terkenal sangat ceria dan murah senyum.
“Kali ini saya harus berangkat ! Apapun kata ibu saya akan tetap berangkat”
Syifa yang sejak tadi terdiam dengan wajah yang murung, kini nampak bersemangat. Rupanya sang mentari telah berhasil menghipnotis gadis remaja ini untuk mengobarkan semangatnya dan kembali menjadi Syifa yang selalu ceria.
Kata-katanya barusan yang diiringi senyum yang mengembang sepertinya menunjukkan sebuah tekad yang sangat bulat. Semangat dan keyakinannya telah berhasil menguasai pikiran dan hatinya kembali, sebab sudah beberapa bulan belakangan ini pikirannya sering terganggu akan kerinduan terhadap sosok ayahnya. Seorang ayah kandung yang tidak pernah ia lihat sejak lahir. Sosok lelaki yang selama ini dinanti setiap anak yang baru lahir untuk mengumandangkan adzan di telinganya. Meski ia memiliki ayah tiri yang sangat baik kepadanya, tapi tetap saja Syifa ingin sekali bertemu dengan ayahnya dan sangat ingin merayakan lebaran tahun ini bersama ayahnya.
“Bu, minggu depan saya akan berangkat ke Sulawesi”
Syifa kembali mengutarakan niat untuk mencari ayahnya tersebut kepada ibunya yang sangat menentang niatnya itu. Berharap, kali ini ibunya mau mengabulkan niatnya yang sudah sering kali ia sampaikan.
“Sudahlah nak, tidak usah kamu cari ayahmu itu. Ibu khawatir kamu tidak akan pernah bisa menemuinya”. Lagi-lagi ibunya hanya bisa menolak.
“Bu, tolonglah bu. Syifa sangat ingin bertemu dengan ayah. Syifa ingin sekali melewati ramadhan dan lebaran tahun ini bersamanya bu. Alamatnya pun sudah kumiliki”
“Dari mana kamu mendapatkannya nak?” Ibunya tampak kaget begitu mengetahui bahwa Syifa sudah tahu keberadaan ayahnya.
“Syifa mohon maaf bu. Selama ini Syifa diam-diam mencari tahu keberadaan ayah melalui tante Rina” Jawab Syifa dengan tuturnya yang sangat sopan.
Semenjak ibunya memberitahukan bahwa Syifa bukanlah anak kandung dari perkawinannya dengan Pak Ahmad, yang kini menjadi suaminya, sejak saat itulah Syifa mulai mencari tahu tentang siapa ayah kandungnya. Dan ini sudah tahun ketiga ia tahu tentang hal tersebut. Ia sangat shock ketika mengetahui bahwa ayahnya pergi meninggalkan ibunya sejak ia masih dalam kandungan.
Beruntung karena ia cukup akrab dengan tante Rina. Tante Rina adalah adik bungsu ibunya yang sangat tahu tentang masa lalu ibunya bersama ayah kandung Syifa.
“Apa yang dikatakan Tante Rina kepadamu nak?” Tanya ibunya.
“Tante Rina bilang, kalo ayah saat ini berada di Sulawesi. Dia menetap disana katanya bu. Syifa mohon izin bu. Tolong ridhoi Syifa untuk mencari ayah bu.” Syifa kembali memohon.
Pak Ahmad, ayah tiri Syifa yang sejak tadi mendengar Syifa memohon kepada ibunya ikut menyela.
“Izinkanlah Syifa bu, Ridhoilah ia pergi menemui ayahnya. Bagaimanapun juga dia adalah ayah kandungnya. Syifa berhak menemuinya”
Meskipun pak Ahmad hanyalah ayah tiri. Namun, ia sangat menyayangi Syifa. Tidak pernah sekalipun ia memarahai Syifa. Syifa pun kaget ketika mengetahui bahwa pak Ahmad bukanlah ayah kandungnya. Sikap yang ditunjukkan pak Ahmad tidak pernah menunjukkab bahwa ia hanyalah ayah tiri.
“Baiklah nak. Kali ini ibu mengizinkanmu untuk pergi menemui ayahmu. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu bahwa semenjak lahir ayahmu tidak pernah mencarimu”
“Iya bu. Syifa paham betul bagaimana perasaan ibu terhadap ayah. Insya Allah, dengan izin ibu Syifa akan mudah menemui ayah bu. Syifa juga sudah menghubungi Dina bu. Insya Allah, dia siap bantu”. Syifa semakin meyakinkan ibunya.
“Jadi, kapan rencana kamu akan berangkat nak?” Ibu Syifa kembali bertanya.
“Insya Allah, awal pekan depan bu”
“Sudah pesan tiket nak?” Pak Ahmad ikut menimpali
“Rencananya besok baru pesan tiket pak”
“Bapak punya teman yang kebetulan kerja di travel nak. Kalau kamu mau, bapak pesankan malam ini juga”
“Iya pak. Kalau tidak merepotkan.” Jawab Syifa masih dengan senyumnya yang mempertegas paras cantiknya.
“Insya Allah bapak akan selalu membantumu nak. Jangan pernah sungkan nak. Bagaimanapun juga bapak sudah menganggapmu sebagai anak sendiri. Selama ini bapak tidak pernah kan membeda-bedakan kamu dengan adikmu?”
Syifa hanya tersenyum pertanda ia mengiyakan kata-kata pak Ahmad. Sementara ibu Syifa hanya bisa menyeka air matanya yang ternyata sudah tak sanggup lagi ia bendung. Saking terharunya ia mendengar percakapan antara anak dan suaminya itu. Dalam diamnya, ia hanya mampu mengucap syukur telah dikaruniai anak yang begitu patuh terhadap orang tua dan suami yang sangat menyayangi keluarganya. Meskipun dahulu ia pernah mengalami pengalaman yang pahit bersama seseorang lelaki yang pergi meninggalkannya begitu saja.
******
Waktu keberangkatan Syifa ke Sulawesi pun tiba. Seusai makan sahur dan shalat subuh, Syifa sudah harus berangkat menuju bandara Soekarno Hatta Jakarta. Ibu, Pak Ahmad serta adik hasil perkawinan ibunya dengan pak Ahmad turut serta mengantar kepergiannya menuju kota Anging Mammiri, Makassar, tempat ayah kandungnya menetap.
“Hati-hati yah nak. Jangan lupa selalu kasih kabar ke ibu. Bismillah yah nak. Doa ibu menyertaimu selalu” Pesan ibu kepada Syifa sebelum ia check in.
“Insya Allah yah bu, Syifa akan selalu mengabari ibu”
Suasana haru cukup terasa di pelataran bandara Soekarno Hatta saat itu. Sebab, ini kali pertama Syifa berpisah dengan ibunya dengan jarak antar pulau dan waktu yang belum ditentukan kapan Syifa akan kembali. Syifa telah bertekad untuk mencari ayahnya. Ia pun telah berjanji tidak akan kembali ke Jakarta sebelum ia bertemu dengan ayahnya. Untungnya, saat itu ia dalam masa liburan semester setelah menghadapi final test di kampusnya. Sehingga, waktu untuk mencari pun cukup banyak.
Berbekal niat, tekad dan foto ayahnya yang ia dapatkan dari tante Rina ia pun memberanikan diri berangkat ke kota Makassar. Perjalanannya pagi itu yang memakan waktu sekitar dua jam dilaluinya dengan lancar. Rupanya, di bandara Sultan Hasanuddin Makassar, Dian sudah siap menyambut kedatangannya. Dian adalah teman Syifa yang telah berjanji akan mengantarkannya untuk mencari keberadaan ayahnya. Mereka berdua sudah berteman sejak SMP hingga SMA, hanya saja begitu lulus SMA Dian beserta keluarganya harus hijrah ke Makassar untuk mengikuti ayahnya yang bertugas disana. Orang tua mereka pun sangat akrab.
“Syifa…Syifa…hei saya disini” Teriak Dian sambil mengangkat tangannya.
“Hei..Dian !” Sambil menoleh dan berlari kecil kearah Dian yang berjarak sekitar lima meter dari pintu bandara tempat Syifa berdiri.
“Senangnya bisa kembali bertemu kamu Syif. Khaefa khaluk Yaa Ukhti?” Tanya Dian kepada temannya itu.
Alhamdulillah, bi khair Yaa Ukhti. Wa anti?” Syifa balik menanyakan kabar Dian. Seraya saling berpelukan pertanda keakraban dan ada kerinduan yang terselip di antara mereka.
Alhamdulillah, Khair. Baiklah Syif, mari kita pulang. Biar kamu istirahat dulu di rumah sambil membicarakan apa rencana kamu selanjutnya” Ajak Dian.
“Ya, baiklah kalo begitu”
Mereka berdua pun berjalan menuju mobil dan segera berangkat menuju rumah Dian yang terletak di sebelah utara Kota Makassar. Dalam perjalanan tersebut, mereka kembali terlibat pembicaraan singkat sebelum mereka tiba di rumah Dian.
“Bagaimana perjalanan kamu tadi? Lancar kan?” Dian memulai pembicaraan.
“Alhamdulillah, lancar. Oh iya, bagaimana keadaan tante dan om?”
“Alhamdulillah, mereka baik juga kok. Ternyata kota ini memberikan banyak berkah bagi keluarga kami Syif. Karir ayah selama berada di kota ini semakin baik. Orang-orang yang ada disekitar kami pun ternyata sangat ramah. Peduli satu sama lain” Jawab Dian sambil menceritakan kesenangannya selama berada di kota Makassar.
“Lalu, kuliah kamu bagaimana Dian? Pasti teman-teman kamu sudah banyak yah disini ?”
“Kuliah…baik juga. Alhamdulillah. Teman-teman juga, asyik-asyik semua lah orangnya. Kamu sendiri, bagaimana dengan kuliah kamu Syif?” tanya Dian kembali.
“Ya, baik juga. Tapi, semenjak kamu pindah kesini. Saya kok merasa kesepian yah. Nggak lengkap rasanya ke kampus tanpa kamu. Biasanya kan kita selalu bareng ke sekolah”
“Ah…nanti juga terbiasa kok tanpa saya. Inilah hidup Syif, apapun tantangannya kita harus hadapi. Yakin aja deh yah, Allah selalu ada kok buat kita. Begitu juga dengan masalah kamu ini Syif. Insya Allah, secepatnya kita akan menemukan ayahmu. Kebetulan Bapakku punya teman polisi yang kebetulan bertugas di Makassar juga. Insya Allah, kita gampang lacaknya” Dian mencoba menenangkan hati Syifa yang nampaknya sangat mudah terbaca olehnya.
Dian sebagai teman yang selama ini sudah sangat akrab dengan Syifa sangat kenal dengan temannya itu. Dian sangat memahami perasaan Syifa yang dipenuhi kerinduan akan sosok ayahnya yang selama ini tidak pernah ia lihat kecuali melalui foto.
“Terima kasih banyak yah sebelumnya Dian, saya disini akan sangat merepotkan kamu dan keluarga kamu nantinya” Ucap Syifa
“Tidak usah sungkan-sungkan Syifa. Kami dengan senang hati membantu kamu. Kamu itu sudah saya anggap saudara sendiri”. Balas Dian dengan senyumnya yang penuh arti. Arti ketulusan.
Berselang sekitar tiga puluh menit perjalanan yang mereka tempuh. Akhirnya, mereka pun tiba di rumah Dian disambut dengan ibu dan adiknya. Sedangkan ayahnya masih bekerja di kantor.
Syifa pun langsung memberi salam kepada mereka berdua. Ia pun disambut dengan hangat oleh keluarga Dian. Dan segera dipersilahkan masuk untuk beristirahat di kamar Dian.
Setelah beristirahat dan mengerjakan shalat Azhar, Syifa ikut bergabung dengan keluarga Dian yang tengah asyik berkumpul di ruang keluarga sambil menunggu waktu berbuka puasa.
“Nak Syifa, jam berapa tibanya?” Ayah Dian memulai percakapan.
“Eh om. Tadi, tiba sekitar jam satu om. Oh  iya om, tante, ibu titip salam buat kalian berdua”
“Oh iya nak, Waalaikumsalam. Salam kembali juga yah dari kami. Jadi, bagaimana rencana kamu selanjutnya nak?”
“Rencananya, Syifa besok sudah mulai mencari keberadaan Ayah pak” Tegas Syifa.
“Begitu yah. Hmm, jadi begini nak, kebetulan om punya kenalan yang bekerja di kepolisian juga. Mungkin beliau bisa membantu kamu mencari keberadaan ayahmu. Sebelumnya, saya sudah membicarakan hal ini kepada beliau. Dan dari keterangan terakhir yang saya dapatkan bahwa alamat ayahmu sudah mulai terlacak”. Jelas ayah Dian.
Mendengar penjelasan ayah Dian. Syifa terlihat begitu semangat. Ada secercah harapan dimatanya yang nampak. Begitu rindunya ia akan ayahnya sangat terlihat jelas saat itu.
“Ini nomor telepon teman saya nak. Langsung saja kamu hubungi beliau. Insya Allah dia akan bantu. Dia juga kenal kok dengan Dian. Jadi, tidak usah khawatir yah” Ayah Dian semakin mempertegas sambil menyodorkan kertas yang bertuliskan sebuah nomor telepon.
“Baik om. Saya mengucapkan banyak terima kasih. Mohon maaf juga om, tante, disini saya akan banyak merepotkan kalian”.
“Tidak usah sungkan nak. Anggap rumah sendiri yah. Kami harap kamu betah tinggal disini hingga ayah kamu dapat diketahui keberadaannya”.
Di sela-sela percakapan mereka yang nampak begitu serius namun haru. Kumandang adzan dari masjid terdengar begitu jelas.
“Alhamdulillah, saatnya kita berbuka. Mari nak, kita berbuka sambil mencicipi ta’jil buatan tante” Ibunya Dian dengan ramahnya mengajak Syifa.
“Iya, dicoba yah Syif. Ta’jil buatan mama enak banget loh. Maknyuss dah pokoknya. Sekalian coba juga masakan khas Makassar. Mama udah jago loh masak masakan khas disini” Dian ikut mengajak temannya itu.
Syifa tersenyum sambil mengikuti ajakan teman karibnya itu. Dalam hati, Syifa mengucap syukur telah diberi kelancaran hingga saat ini untuk bertemu dengan ayahnya. Syifa sangat bahagia berada di tengah-tengah keluarga Dian. Melihat keakraban yang tercipta di tengah-tengah keluarga itu, Syifa semakin berharap untuk segera bertemu dengan ayahnya.
Keesokan harinya, Syifa dan Dian berangkat untuk memulai pencariannya. Dengan ditemani oleh teman ayah Dian mereka pun nampak begitu yakin. Alamat ayahnya pun kini ia datangi. Namun, sayang alamat tersebut adalah rumah yang tak berpenghuni. Hanya keterangan tetangga terdekat yang menuntun mereka untuk segera menuju alamat berikutnya.
Alamat berikutnya pun segera mereka telusuri. Dan ternyata, di rumah tersebut hanya tinggal seorang wanita paruh baya. Ternyata, wanita tersebut adalah adik bungsu dari ayah kandungnya. Ditanya lebih lanjut tentang keberadaan ayahnya, wanita itu hanya bisa memberikan keterangan bahwa saat ini ayahnya tengah menderita sakit Jantung dan sudah dua kali menjalani operasi pemasangan alat di jantungnya. Dari wanita itu pula lah, Syifa mendapatkan alamat ayahnya yang saat ini ia tempati bersama keluarga barunya. Wanita itu tampaknya telah mengenali siapa sosok gadis yang ada dihadapannya sekarang. Sehingga, ia tidak berani untuk menceritakan banyak hal dan hanya bisa memberikan sebuah alamat kepada keponakannya itu.
Tidak terlalu lama ia berada disana. Syifa pun segera pamit dan langsung melanjutkan perjalanan menuju alamat yang selanjutnya.
Berselang dua puluh menit perjalanan, mereka akhirnya tiba di sebuah rumah bercat cokelat yang nampak cukup megah. Letaknya pun di berada di kawasan perumahan yang terbilang cukup elit di kota Makassar.
Ia segera turun dari mobil bersama Dian dan rekan ayah Dian.
“Apa benar ini rumahnya?” Syifa mencoba memastikan.
“Iya, sudah betul nak. Ini rumahnya. Ayo, kita coba masuk dulu. Semoga ini memang betul kediaman beliau”.
Mereka tampak kaget begitu memasuki halaman rumah tersebut. Rumah tersebut nampak sangat ramai. Nampak seperti ada acara yang tengah berlangsung disana.
Syifa pun lalu bertanya kepada salah seorang tamu.
“Permisi pak. Apa betul ini rumah Pak Tirta?”
“Iya nak. Betul, ini rumah pak Tirta”
Belum sempat Syifa melanjutkan pertanyaannya, tiba-tiba seorang wanita yang terlihat seumuran dengannya menghampiri mereka. Ada yang ganjil ketika mereka berdua saling bertatapan. Mereka terlihat begitu mirip. Raut wajah mereka seakan menegaskan bahwa mereka mempunyai ikatan darah.
“Cari siapa yah mbak?” tanya gadis itu dengan nada yang sedikit gemetar. Mungkin ia merasakan hal yang sama kagetnya dengan Syifa yang merasa saling memiliki wajah yang hampir mirip.
“Ini mbak, saya mau tanya. Apa betul ini rumah pak Tirta?” Syifa kembali bertanya.
“Iya mbak, betul. Ini rumah Pak Tirta. Mbak siapa yah? Darimana?”
“Saya dari Jakarta mbak. Perkenalkan, saya Syifa anaknya pak Tirta”
“Oh..iya..iya mbak. Silahkan masuk”. Gadis itu dengan ramahnya mengaja Syifa, Dian dan teman ayah Dian untuk masuk. Seakan ia telah mengerti maksud kedatangan tamu-tamunya itu.
Namun, Syifa heran dengan sikap gadis itu.
“Pak Tirta ada kan mbak?” Syifa kembali bertanya.
Gadis itu terdiam sejenak, nampak kesedihan di wajahnya begitu mendengar pertanyaan Syifa.
“Masuklah dulu mbak. Di dalam mbak akan tahu semuanya”
Mereka bertiga pun masuk kedalam rumah tersebut. Di dalam sama ramainya dengan di luar. Dalam hati Syifa sudah dipenuhi dengan tanda tanya.
“Ini ada acara apa sebetulnya yah? Mana Bapak? Syifa sudah tidak sabar bertemu dengan beliau”.
Mereka pun dipersilahkan duduk dan gadis itu segera masuk ke bagian dalam rumah tersebut. Nampaknya, ia tengah memanggil seseorang untuk Ia pertemukan dengan Syifa.
Sementara Syifa masih asyik memperhatikan satu persatu foto keluarga yang terpajang di ruangan tamu rumah tersebut. Dan memang betul, disana terpajang foto ayahnya. Sementara sayup-sayup ia juga mendengar beberapa orang yang tengah melantunkan ayat suci Al-Qur’an dari ruangan lain di dalam rumah tersebut.
Hatinya kini mulai tidak karuan. Namun, ia tidak ingin berprasangka terlebih dahulu sebelum ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tiba-tiba, seorang wanita yang sedikit lebih muda dari ibunya keluar dari dalam bersama gadis yang tadi menyambutnya.
Tanpa basa basi, wanita itu langsung memeluk Syifa dan menangis.
“Ayahmu sudah tidak ada nak. Ayahmu sudah meninggal. Maafkanlah ia nak”
Mendengar pernyataan tersebut, Syifa ikut meneteskan air mata sambil melepas pelukan wanita itu. Wanita itu adalah istri kedua ayahnya. Ternyata, sebelum meninggal, pak Tirta telah menceritakan semuanya kepada istrinya tersebut bahwa ia juga mempunayi seorang anak di Jakarta. Namun, karena pernikahan pak Tirta dengan ibu Syifa waktu itu tidak mendapat restu dari nenek Syifa di Jakarta. Pak Tirta meninggalkan ibunya.
“Apa bu? Syifa tidak salah dengar?”
“Tidak nak. Pak Tirta ayahmu sudah meninggal sejak sebulan yang lalu. Lihatlah nak, saat ini kami tengah menggelar acara tahlilan untuk mengenang sebulan kepergian beliau”.
Kali ini, Syifa sudah yakin. Ia mencoba ikhlas menerima kepergian ayahnya. Meski ia belum sempat bertemu secara langsung. Dan ia pun harus berbesar hati untuk menghapus segala harapannya untuk melewati ramadhan dan merayakan lebaran tahun ini bersama ayahnya.
Namun ia tetap yakin, bahwa suatu saat nanti Allah akan memberikan tempat terindah untuk ia dan ayahnya menghabiskan waktu dan menghapus segala kerinduannya. Insya Allahu Ta’ala.
Di samping nisan ayahnya, ia hanya berujar dalam hati.
“Ku ikhlaskan waktuku di dunia bersamamu ayah. Insya Allah, kita akan bertemu di Surga Allah nanti. Salam rinduku selalu tercurah untukmu ayah. Tenanglah engkau disana”.
TAMAT.




Pesan Terakhir Untukku


Allahuakbar..Allahuakbar..Allahuakbar…
Laa Ilaha Illallahuallahuakbar…
Allahuakbar Walillahil Hamd…
Kalimat Takbir yang berkumandang malam itu terdengar begitu jelas di kuping Farid. Hatinya begitu bergetar tatkala gema takbir terdengar olehnya. Tetesan air dari matanya pun sudah tak sanggup ia bendung. Lelaki itu sementara menyiapkan dirinya menuju masjid untuk ikut mengumandangkan takbiran. Begitu selesai bersiap-siap, ia pun berpamitan dengan kedua orang tuanya dan mengajak adiknya Putri untuk bersama-sama menuju masjid.
Sepulang dari takbiran, Farid segera masuk ke kamarnya dan duduk terdiam di atas ranjang. Dalam diamnya, secara spontan tubuhnya sudah berada di lantai, bersujud memanjatkan syukur seraya memohon ampun kepada Allah.
 Ia terbangun dari sujudnya. Farid segera menyandarkan tubuhnya ke pinggiran ranjang dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari pelupuk matanya. Dalam isakannya, terlintas sebuah pengalaman yang begitu menyakitkan baginya. Pengalaman yang mampu menyadarkan ia atas segala kekhilafannya selama ini. Pengalaman yang mengharuskan Karin, kekasihnya yang sudah setia menemaninya sejak dua tahun terakhir ini meninggal dunia. Meninggalnya Karin membuat Farid terus merasa bersalah. Farid merasa bahwa Karin meninggal atas kesalahannya. 

Sore itu, sepulang dari kampus. Farid dan Karin janjian untuk berbuka puasa bersama di sebuah Café favorit mereka. Café itu letaknya tidak terlalu jauh dari kampus. Seusai makan malam, mereka berdua pulang. Terlebih dahulu Farid mengantar Karin pulang dan setalah itu ia pun kembali ke kostnya.
“Hati-hati yah di jalan, jangan ngebut !” Karin mengingatkan kepada Farid.
“sip bos” Jawab Farid sambil menyalakan mesin motornya.
Diperjalanan pulang, tiba-tiba telepon genggam Farid berbunyi. Ia pun mengehentikan laju motornya dan segera mengambil telepon genggam dari saku jaketnya. Di layar teleponnya tertulis nama Rio. Rio adalah teman kampus Farid dan juga Karin. Mereka sama-sama kuliah di jurusan yang sama.
“Iya halo Rio, ada apa ?” Jawab Farid
“Rid, ngumpul yuk. Seperti biasa !!”
Rupanya Rio mengajak Farid untuk nongkrong di sebuah club malam. Dan tanpa pikir panjang, Farid pun mengiyakan ajakan Rio. Padahal, Farid telah berjanji kepada orang tuanya dan juga Karin untuk tidak lagi ke club malam bersama teman-temannya. Ia berjanji, karena ia telah berulang kali dipergoki pulang ke kost dengan keadaan mabuk berat bahkan ia pernah mengalami kecelakaan hebat pada saat pulang dari club malam, kasusnya karena mabuk berat juga. Dan kali ini, rupanya janji Farid masih belum mampu ia tepati.
“oke deh Rio. Di tempat biasa kan?” Sambung Farid
“Iya. Sekarang yah. Anak-anak udah pada ngumpul nih” Jawab Rio.
Farid pun berbalik arah dan segera mennyusul Rio dan teman-temannya yang lain di club malam tempat mereka sering nongkrong.
Namun, tanpa Farid sadari, ternyata Karin mengikutinya sejak ia meninggalkan rumah Karin. Diam-diam Karin mengikutinya dengan mengendarai sebuah motor dengan pakaian layaknya seorang laki-laki lengkap dengan helm. Sehingga, Farid susah mengenalinya.
Ternyata, Karin sudah memiliki firasat terhadap kekasihnya itu. Sebab, di kampus ia tidak sengaja mendengar Rio membuat janji dengan teman-temannya untuk nongrong. Meskipun saat itu ia tidak langsung mengajak Farid. Tapi, tetap saja Karin khawatir jika Rio betul-betul mengajak Farid, sehingga ia rela melakukan penyamaran ini.
Setibanya Farid di club malam, Karin membiarkan Farid masuk terlebih dahulu. Setelah beberapa saat, ia pun kembali mengikuti Farid dan juga ikut masuk ke dalam club malam itu. Di dalam, Karin sempat kebingungan mencari Farid, namun setelah lama mencari-cari ia pun akhirnya menemukan sosok lelaki yang sangat ia sayangi itu.
Nampaknya, Farid sudah mulai menenggak alcohol. Dari jarak sekitar tiga meter dari tempat duduk Farid, Karin terus mengamati seraya mengumpulkan keberanian untuk menghampiri kekasihnya.
“pokoknya, kali ini saya harus melakukan sesuatu yang membuatnya betul-betul meninggalkan dunianya ini. Ini tidak bisa dibiarkan lagi” Gumam Karin dalam hatinya.
Setelah ia meyakinkan dirinya, ia langsung berdiri dan menghampiri Farid yang nampaknya sudah mulai mabuk. Namun, beruntung, karena ia masih mengenali sosok yang kini sudah berdiri di hadapannya yang menatapnya dengan rasa kekecewaan.
“Hentikan Farid !” tegas Karin.
Farid sontak kaget dan meletakkan gelas minuman yang sejak tadi ia genggam.
“Karin ? Kenapa kamu ada disini sayang?” Jawab Farid yang mencoba mengontrol dirinya.
“Tidak usah banyak tanya kamu. Sekarang ikut aku pulang!” Bentak Karin.
Sayangnya, Farid begitu susah untuk mengontrol dirinya dan kembali mengambil segelas alcohol dan segera mengarahkan gelas itu kemulutnya.
Namun, geraknya terlalu lemah untuk menahan Karin merebut gelas itu dari tangannya. Farid semakin kaget ketika ia melihat Karin malah meminum alcohol itu.
“Farid, lihat apa yang saya lakukan? Sekali lagi kamu minum, saya juga akan ikut minum!”
Mendengar perkataan Karin barusan, Farid semakin kaget dan langsung mengajak Karin keluar. Di luar mereka  bertengkar hebat dan Karin segera memanggil taksi dan segera mengantar Farid pulang ke kost dan memastikan Farid tertidur dan ia pun segera pulang kerumahnya.
Keesokan paginya, Farid terbangun oleh deringan telepon genggamnya. Ternyata, telepon itu dari Syifa sahabat Karin.
“Iya Syifa, ada apa?” Jawab Farid.
“Segera kerumah sakit Pelita Rid, Karin sakit.” Ucap Syifa dengan paniknya.
“Apa? Karin sakit? Sakit apa Syif?” Farid kembali bertanya.
“Sudah, jangan banyak tanya. Pokoknya kamu segera kerumah sakit saja” Syifa kembali berucap.
“Iya, iya Syif. Makasih infonya”.
Farid menutup telepon dan segera menuju kerumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Farid segera menuju ruang ICU tempat Karin dirawat. Ia begitu kaget ketika melihat tubuh Karin yang sudah kaku. Sementara para perawat yang ada disana masih sibuk melepas semua alat pernapasan yang sebelumnya melekat erat ditubuh Karin.
Usai melepas kepergian kekasihnya itu. Farid bertemu dengan kedua orang tua Karin.
“Om..tante, sebenarnya Karin sakit apa?” Farid membuka pembicaraan
“Ada hal yang tidak kamu ketahui tentang Karin nak. Sebenarnya, sejak kecil Karin sudah mengidap sakit bawaan pada jantungnya” Jawab ayah Karin. Sementara ibunda Karin tetap terdiam dengan wajah yang nampaknya sangat terpukul.
Belum sempat Farid menjawab, ayah Karin sudah melanjutkan pembicaraannya.
“Semalam nak, ketika kamu mengantarnya pulang. Karin kembali meminta izin kepada om untuk keluar ke minimarket. Katanya ada keperluan sedikit. Begitu pulang, dia mengeluh sakit dan akhirnya pingsan. Akhirnya, kami larikan ia kerumah sakit. Sampai di rumah sakit kami baru tahu dari dokter yang menanganinya bahwa penyakitnya semakin akut karena ia baru saja menenggak alcohol. Om sangat tidak menyangka bahwa Karin berani meminum minuman haram itu. Mungkin nak Farid tahu, apakah Karin ada masalah? Karena setahu om dia tidak pernah begini”
Farid sangat terkejut dan shock mendengar penjelasan ayah Karin. Ia pun dan menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi  pada malam itu.
Farid pun meminta maaf kepada kedua orang tua Karin sambil berlutut dihadapan mereka berdua.
“Om..tante…Farid sangat menyesal. Ini semua karena saya” Tutur Farid diiringi isakannya.
“Berdirilah nak. Yang penting sekarang om sudah tahu hal yang sebenarnya. Om tidak berhak marah sama kamu. Mungkin, inilah takdir Karin. Kami ikhlas nak. Tapi, om meminta kepada kamu, tolong hargai pengorbanan Karin nak” Jawab ayah Karin tanpa rasa marah sedikitpun.
Semenjak kejadian itu, Farid tidak pernah lagi menyentuh minuman itu. Dia menjadi sosok lelaki yang jauh berbeda dari sebelumnya.
Dalam setiap doanya, ia selalu menghadirkan nama Karin. Baginya, Karin adalah sosok wanita yang sangat berarti dalam hidupnya, yang mampu mengubahnya menjadi lelaki yang lebih baik.
“Tenanglah engkau disana Karin. Insya Allah, pengorbananmu tidak akan aku sia-siakan. Engkau sangat berarti. Sampai kapanpun tidak akan pernah ada yang mampu menggantikanmu”.
SELESAI.

2 komentar:

Hidayah Nur mengatakan... Reply Comment

Assalamu'alaikum.. ana berkunjung di blog anti.. wah.. nice blog.. tampilan n tulisanx bagus.. bisa belajar banyak nih untuk ngeblogger.. kunjungi balik blog ana yah http://hidayah03.blogspot.com/

Nurjayanti Anthy mengatakan... Reply Comment

@Yaya Afifatunnisa: Waalaikumsalam anti... makasih atas kunjungannya yah...!!! :)

Posting Komentar

 

Please Smile...!!!

Segalanya akan indah jika kita menyadari bahwa tak ada di dunia ini yang sia-sia