Beberapa bulan yang lalu, bertepatan libur panjang semester
dan libur lebaran Idul Fitri 1433 H sepertinya meninggalkan beberapa pengalaman
yang tampaknya sayang jika saya lewatkan untuk dijadikan bahan berbagi kepada
teman-teman. Libur kali itu sangat berbeda dari liburan semester
sebelum-sebelumnya. Kalau dulu liburnya harus tetap ke kampus dan menjalankan
tugas-tugas ekstra di fakultas, kali ini kebanyakan menghabiskan liburan di kampung
sambil menikmati sejuknya kota kembang sekaligus melibatkan diri dalam kegiatan
Amaliyah Ramadhan di masjid dekat rumah. Bukan hanya itu kegiatan saya, bahkan
membantu Tetta untuk
mencat rumah pun saya turun langsung. Rupanya, prediksi
saya bahwa mengahabiskan liburan di kampung hanya akan melakukan aktivitas yang
biasa-biasa saja salah. Ternyata, liburan di kampung jauh lebih meninggalkan
banyak pengalaman.
Pengalaman yang teringat jelas menjelang pertengahan liburan
yang pada saat itu bertepatan dengan puasa ramadhan, sore hari sambil
ngabuburit istilahnya saya iseng-iseng online,
buka akun facebook, sambil ngecek status-status facebookers yang sudah
terdaftar dalam pertemanan saya, dan tidak ketinggalan meng-klik gambar ketiga
di sisi kiri atas yang biasanya muncul dengan angka berwarna merah, apalagi
kalau bukan notification atau
pemberitahuan. Sambil membaca satu persatu pemberitahuan yang masuk, saya
tertarik dengan sebuah postingan seorang teman di sebuah grup yang berisi
pengumuman Lomba Penulisan Cerpen Ramadhan yang dilaksanakan oleh LP3I.
Syaratnya pun cukup simple, alhasil
sejak hari itu saya mulai nulis cerpen lagi setelah beberapa tahun vakum
*ceileehh..bahasanya :D*.
Cerpen pertama pun akhirnya menemukan ending. Ternyata ke-vakum-an saya menulis cerpen tidak membuat saya
membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya. Edit ini itu, dan akhirnya saya
posting juga malam harinya. Keesokannya, saya seakan hilang ingatan bahwa hari
sebelumnya saya sudah memposting sebuah cerpen, jadilah saya mengabaikan untuk
mencari pembaca sebanyak-banyaknya, sementara pada pengumuman sudah dijelaskan
bahwa penilaian membutuhkan pembaca dalam jumlah yang banyak. Banyaknya
tergantung dari cerpen yang memiliki jumlah pembaca tertinggi. Setelah
seminggu, saya baru ingat akan hal itu. Mulailah saya men-share link cerpen saya, entah itu via Twitter dan Facebook saya gunakan
semua. Tapi, karena telat melakukan gerakan-gerakan ini, jadilah cerpen saya
hanya punya beberapa pembaca. Sampai akhirnya saya bosan sendiri dan kembali
mengabaikannya, berhubung saat itu liburan sudah akan berakhir. Otomatis,
perhatian saya teralihkan untuk menyiapkan diri memasuki semester baru sambil
pasrah dan berserah diri. :D
Nah, beberapa hari yang lalu, tiba-tiba cerpen ini seakan
mengusik pikiran saya kembali. Ingatan saya tertuju pada hari pengumumanlomba
tersebut. Saya kembali iseng buka facebook, dan mengetik fanpage kampus LP3I, berharap pengumumannya sudah ada. Ternyata,
memang sudah ada dan sudah terposting sejak beberapa hari yang lalu di wall mereka. Membaca deretan nama yang
menjadi pemenang 1,2,dan 3 saya hanya bisa menyunggingkan sebuah senyuman manis
bercampur kecut melihat namaku tak ada disana. Kasihan ! Setelah menghayati
satu persatu nama tersebut pandangan saya kemudian beralih pada nama-nama yang
terdaftar sebagai nominator 10 cerpen favorit. Satu persatu saya teliti lagi
nama-nama tersebut, dan saya terhentak ketika nama saya ada di urutan “terakhir”
dalam nominator cerpen favorit tersebut. Nyengir sendiri, sambil mengucap
syukur. Kali ini karya saya akhirnya dapat piagam plus tiga eksemplar buku sebagai hadiah, entah itu buku apa karena
barangnya belum sampai ke tangan saya alias masih dalam proses pengiriman.
Meskipun jadi yang terakhir, setidaknya ada ratusan karya yang
telah disingkirkan oleh cerpen yang bertajuk “Sepenggal Kata Pertama Untuk Ayah”.
Sebenarnya, tidak hanya satu cerpen yang sempat saya ikutkan. Cerpen kedua pun
kembali berhasil menemukan endingnya
yang bertajuk “Pesan Terakhir Untukku"
Pengen baca ? Nih, saya posting juga deh buat teman-teman.
Sepenggal Kata Pertama Untuk Ayah
Matahari
Sore hari ini nampaknya tengah berusaha memancarkan sinar-sinar bahagianya.
Seraya berusaha memancarkan semangat untuk seluruh makhluk Allah di jagat raya
ini. Tak terkecuali kepada seorang gadis remaja yang terlihat murung di sudut
kamarnya. Nampaknya, fikiran gadis itu melayang entah kemana. Yang pastinya,
raut wajahnya kali ini terlihat sangat kontras dengan kepribadiannya
sehari-hari yang terkenal sangat ceria dan murah senyum.
“Kali ini
saya harus berangkat ! Apapun kata ibu saya akan tetap berangkat”
Syifa
yang sejak tadi terdiam dengan wajah yang murung, kini nampak bersemangat.
Rupanya sang mentari telah berhasil menghipnotis gadis remaja ini untuk
mengobarkan semangatnya dan kembali menjadi Syifa yang selalu ceria.
Kata-katanya
barusan yang diiringi senyum yang mengembang sepertinya menunjukkan sebuah
tekad yang sangat bulat. Semangat dan keyakinannya telah berhasil menguasai
pikiran dan hatinya kembali, sebab sudah beberapa bulan belakangan ini
pikirannya sering terganggu akan kerinduan terhadap sosok ayahnya. Seorang ayah
kandung yang tidak pernah ia lihat sejak lahir. Sosok lelaki yang selama ini
dinanti setiap anak yang baru lahir untuk mengumandangkan adzan di telinganya.
Meski ia memiliki ayah tiri yang sangat baik kepadanya, tapi tetap saja Syifa
ingin sekali bertemu dengan ayahnya dan sangat ingin merayakan lebaran tahun
ini bersama ayahnya.
“Bu,
minggu depan saya akan berangkat ke Sulawesi”
Syifa
kembali mengutarakan niat untuk mencari ayahnya tersebut kepada ibunya yang
sangat menentang niatnya itu. Berharap, kali ini ibunya mau mengabulkan niatnya
yang sudah sering kali ia sampaikan.
“Sudahlah
nak, tidak usah kamu cari ayahmu itu. Ibu khawatir kamu tidak akan pernah bisa
menemuinya”. Lagi-lagi ibunya hanya bisa menolak.
“Bu,
tolonglah bu. Syifa sangat ingin bertemu dengan ayah. Syifa ingin sekali
melewati ramadhan dan lebaran tahun ini bersamanya bu. Alamatnya pun sudah
kumiliki”
“Dari
mana kamu mendapatkannya nak?” Ibunya tampak kaget begitu mengetahui bahwa
Syifa sudah tahu keberadaan ayahnya.
“Syifa
mohon maaf bu. Selama ini Syifa diam-diam mencari tahu keberadaan ayah melalui
tante Rina” Jawab Syifa dengan tuturnya yang sangat sopan.
Semenjak
ibunya memberitahukan bahwa Syifa bukanlah anak kandung dari perkawinannya
dengan Pak Ahmad, yang kini menjadi suaminya, sejak saat itulah Syifa mulai
mencari tahu tentang siapa ayah kandungnya. Dan ini sudah tahun ketiga ia tahu
tentang hal tersebut. Ia sangat shock
ketika mengetahui bahwa ayahnya pergi meninggalkan ibunya sejak ia masih dalam
kandungan.
Beruntung
karena ia cukup akrab dengan tante Rina. Tante Rina adalah adik bungsu ibunya
yang sangat tahu tentang masa lalu ibunya bersama ayah kandung Syifa.
“Apa yang
dikatakan Tante Rina kepadamu nak?” Tanya ibunya.
“Tante
Rina bilang, kalo ayah saat ini berada di Sulawesi. Dia menetap disana katanya
bu. Syifa mohon izin bu. Tolong ridhoi Syifa untuk mencari ayah bu.” Syifa
kembali memohon.
Pak
Ahmad, ayah tiri Syifa yang sejak tadi mendengar Syifa memohon kepada ibunya
ikut menyela.
“Izinkanlah
Syifa bu, Ridhoilah ia pergi menemui ayahnya. Bagaimanapun juga dia adalah ayah
kandungnya. Syifa berhak menemuinya”
Meskipun
pak Ahmad hanyalah ayah tiri. Namun, ia sangat menyayangi Syifa. Tidak pernah
sekalipun ia memarahai Syifa. Syifa pun kaget ketika mengetahui bahwa pak Ahmad
bukanlah ayah kandungnya. Sikap yang ditunjukkan pak Ahmad tidak pernah
menunjukkab bahwa ia hanyalah ayah tiri.
“Baiklah
nak. Kali ini ibu mengizinkanmu untuk pergi menemui ayahmu. Tapi, satu hal yang
harus kamu tahu bahwa semenjak lahir ayahmu tidak pernah mencarimu”
“Iya bu.
Syifa paham betul bagaimana perasaan ibu terhadap ayah. Insya Allah, dengan
izin ibu Syifa akan mudah menemui ayah bu. Syifa juga sudah menghubungi Dina
bu. Insya Allah, dia siap bantu”. Syifa semakin meyakinkan ibunya.
“Jadi,
kapan rencana kamu akan berangkat nak?” Ibu Syifa kembali bertanya.
“Insya
Allah, awal pekan depan bu”
“Sudah
pesan tiket nak?” Pak Ahmad ikut menimpali
“Rencananya
besok baru pesan tiket pak”
“Bapak
punya teman yang kebetulan kerja di travel nak. Kalau kamu mau, bapak pesankan
malam ini juga”
“Iya pak.
Kalau tidak merepotkan.” Jawab Syifa masih dengan senyumnya yang mempertegas
paras cantiknya.
“Insya Allah
bapak akan selalu membantumu nak. Jangan pernah sungkan nak. Bagaimanapun juga
bapak sudah menganggapmu sebagai anak sendiri. Selama ini bapak tidak pernah
kan membeda-bedakan kamu dengan adikmu?”
Syifa
hanya tersenyum pertanda ia mengiyakan kata-kata pak Ahmad. Sementara ibu Syifa
hanya bisa menyeka air matanya yang ternyata sudah tak sanggup lagi ia bendung.
Saking terharunya ia mendengar percakapan antara anak dan suaminya itu. Dalam
diamnya, ia hanya mampu mengucap syukur telah dikaruniai anak yang begitu patuh
terhadap orang tua dan suami yang sangat menyayangi keluarganya. Meskipun
dahulu ia pernah mengalami pengalaman yang pahit bersama seseorang lelaki yang
pergi meninggalkannya begitu saja.
******
Waktu
keberangkatan Syifa ke Sulawesi pun tiba. Seusai makan sahur dan shalat subuh,
Syifa sudah harus berangkat menuju bandara Soekarno Hatta Jakarta. Ibu, Pak
Ahmad serta adik hasil perkawinan ibunya dengan pak Ahmad turut serta mengantar
kepergiannya menuju kota Anging Mammiri, Makassar, tempat ayah kandungnya
menetap.
“Hati-hati
yah nak. Jangan lupa selalu kasih kabar ke ibu. Bismillah yah nak. Doa ibu
menyertaimu selalu” Pesan ibu kepada Syifa sebelum ia check in.
“Insya
Allah yah bu, Syifa akan selalu mengabari ibu”
Suasana
haru cukup terasa di pelataran bandara Soekarno Hatta saat itu. Sebab, ini kali
pertama Syifa berpisah dengan ibunya dengan jarak antar pulau dan waktu yang
belum ditentukan kapan Syifa akan kembali. Syifa telah bertekad untuk mencari
ayahnya. Ia pun telah berjanji tidak akan kembali ke Jakarta sebelum ia bertemu
dengan ayahnya. Untungnya, saat itu ia dalam masa liburan semester setelah
menghadapi final test di kampusnya.
Sehingga, waktu untuk mencari pun cukup banyak.
Berbekal
niat, tekad dan foto ayahnya yang ia dapatkan dari tante Rina ia pun
memberanikan diri berangkat ke kota Makassar. Perjalanannya pagi itu yang
memakan waktu sekitar dua jam dilaluinya dengan lancar. Rupanya, di bandara
Sultan Hasanuddin Makassar, Dian sudah siap menyambut kedatangannya. Dian
adalah teman Syifa yang telah berjanji akan mengantarkannya untuk mencari
keberadaan ayahnya. Mereka berdua sudah berteman sejak SMP hingga SMA, hanya
saja begitu lulus SMA Dian beserta keluarganya harus hijrah ke Makassar untuk
mengikuti ayahnya yang bertugas disana. Orang tua mereka pun sangat akrab.
“Syifa…Syifa…hei
saya disini” Teriak Dian sambil mengangkat tangannya.
“Hei..Dian
!” Sambil menoleh dan berlari kecil kearah Dian yang berjarak sekitar lima
meter dari pintu bandara tempat Syifa berdiri.
“Senangnya
bisa kembali bertemu kamu Syif. Khaefa
khaluk Yaa Ukhti?” Tanya Dian kepada temannya itu.
“Alhamdulillah, bi khair Yaa Ukhti. Wa anti?”
Syifa balik menanyakan kabar Dian. Seraya saling berpelukan pertanda keakraban
dan ada kerinduan yang terselip di antara mereka.
“Alhamdulillah, Khair. Baiklah Syif, mari
kita pulang. Biar kamu istirahat dulu di rumah sambil membicarakan apa rencana
kamu selanjutnya” Ajak Dian.
“Ya,
baiklah kalo begitu”
Mereka
berdua pun berjalan menuju mobil dan segera berangkat menuju rumah Dian yang
terletak di sebelah utara Kota Makassar. Dalam perjalanan tersebut, mereka
kembali terlibat pembicaraan singkat sebelum mereka tiba di rumah Dian.
“Bagaimana
perjalanan kamu tadi? Lancar kan?” Dian memulai pembicaraan.
“Alhamdulillah,
lancar. Oh iya, bagaimana keadaan tante dan om?”
“Alhamdulillah,
mereka baik juga kok. Ternyata kota ini memberikan banyak berkah bagi keluarga
kami Syif. Karir ayah selama berada di kota ini semakin baik. Orang-orang yang
ada disekitar kami pun ternyata sangat ramah. Peduli satu sama lain” Jawab Dian
sambil menceritakan kesenangannya selama berada di kota Makassar.
“Lalu,
kuliah kamu bagaimana Dian? Pasti teman-teman kamu sudah banyak yah disini ?”
“Kuliah…baik
juga. Alhamdulillah. Teman-teman juga, asyik-asyik semua lah orangnya. Kamu
sendiri, bagaimana dengan kuliah kamu Syif?” tanya Dian kembali.
“Ya, baik
juga. Tapi, semenjak kamu pindah kesini. Saya kok merasa kesepian yah. Nggak
lengkap rasanya ke kampus tanpa kamu. Biasanya kan kita selalu bareng ke
sekolah”
“Ah…nanti
juga terbiasa kok tanpa saya. Inilah hidup Syif, apapun tantangannya kita harus
hadapi. Yakin aja deh yah, Allah selalu ada kok buat kita. Begitu juga dengan
masalah kamu ini Syif. Insya Allah, secepatnya kita akan menemukan ayahmu.
Kebetulan Bapakku punya teman polisi yang kebetulan bertugas di Makassar juga.
Insya Allah, kita gampang lacaknya” Dian mencoba menenangkan hati Syifa yang
nampaknya sangat mudah terbaca olehnya.
Dian
sebagai teman yang selama ini sudah sangat akrab dengan Syifa sangat kenal
dengan temannya itu. Dian sangat memahami perasaan Syifa yang dipenuhi
kerinduan akan sosok ayahnya yang selama ini tidak pernah ia lihat kecuali
melalui foto.
“Terima
kasih banyak yah sebelumnya Dian, saya disini akan sangat merepotkan kamu dan keluarga
kamu nantinya” Ucap Syifa
“Tidak
usah sungkan-sungkan Syifa. Kami dengan senang hati membantu kamu. Kamu itu
sudah saya anggap saudara sendiri”. Balas Dian dengan senyumnya yang penuh
arti. Arti ketulusan.
Berselang
sekitar tiga puluh menit perjalanan yang mereka tempuh. Akhirnya, mereka pun
tiba di rumah Dian disambut dengan ibu dan adiknya. Sedangkan ayahnya masih
bekerja di kantor.
Syifa pun
langsung memberi salam kepada mereka berdua. Ia pun disambut dengan hangat oleh
keluarga Dian. Dan segera dipersilahkan masuk untuk beristirahat di kamar Dian.
Setelah
beristirahat dan mengerjakan shalat Azhar, Syifa ikut bergabung dengan keluarga
Dian yang tengah asyik berkumpul di ruang keluarga sambil menunggu waktu
berbuka puasa.
“Nak
Syifa, jam berapa tibanya?” Ayah Dian memulai percakapan.
“Eh om.
Tadi, tiba sekitar jam satu om. Oh iya
om, tante, ibu titip salam buat kalian berdua”
“Oh iya
nak, Waalaikumsalam. Salam kembali juga yah dari kami. Jadi, bagaimana rencana
kamu selanjutnya nak?”
“Rencananya,
Syifa besok sudah mulai mencari keberadaan Ayah pak” Tegas Syifa.
“Begitu
yah. Hmm, jadi begini nak, kebetulan om punya kenalan yang bekerja di
kepolisian juga. Mungkin beliau bisa membantu kamu mencari keberadaan ayahmu.
Sebelumnya, saya sudah membicarakan hal ini kepada beliau. Dan dari keterangan
terakhir yang saya dapatkan bahwa alamat ayahmu sudah mulai terlacak”. Jelas
ayah Dian.
Mendengar
penjelasan ayah Dian. Syifa terlihat begitu semangat. Ada secercah harapan
dimatanya yang nampak. Begitu rindunya ia akan ayahnya sangat terlihat jelas
saat itu.
“Ini
nomor telepon teman saya nak. Langsung saja kamu hubungi beliau. Insya Allah
dia akan bantu. Dia juga kenal kok dengan Dian. Jadi, tidak usah khawatir yah”
Ayah Dian semakin mempertegas sambil menyodorkan kertas yang bertuliskan sebuah
nomor telepon.
“Baik om.
Saya mengucapkan banyak terima kasih. Mohon maaf juga om, tante, disini saya
akan banyak merepotkan kalian”.
“Tidak
usah sungkan nak. Anggap rumah sendiri yah. Kami harap kamu betah tinggal
disini hingga ayah kamu dapat diketahui keberadaannya”.
Di
sela-sela percakapan mereka yang nampak begitu serius namun haru. Kumandang
adzan dari masjid terdengar begitu jelas.
“Alhamdulillah,
saatnya kita berbuka. Mari nak, kita berbuka sambil mencicipi ta’jil buatan
tante” Ibunya Dian dengan ramahnya mengajak Syifa.
“Iya,
dicoba yah Syif. Ta’jil buatan mama enak banget loh. Maknyuss dah pokoknya.
Sekalian coba juga masakan khas Makassar. Mama udah jago loh masak masakan khas
disini” Dian ikut mengajak temannya itu.
Syifa
tersenyum sambil mengikuti ajakan teman karibnya itu. Dalam hati, Syifa
mengucap syukur telah diberi kelancaran hingga saat ini untuk bertemu dengan
ayahnya. Syifa sangat bahagia berada di tengah-tengah keluarga Dian. Melihat
keakraban yang tercipta di tengah-tengah keluarga itu, Syifa semakin berharap
untuk segera bertemu dengan ayahnya.
Keesokan
harinya, Syifa dan Dian berangkat untuk memulai pencariannya. Dengan ditemani
oleh teman ayah Dian mereka pun nampak begitu yakin. Alamat ayahnya pun kini ia
datangi. Namun, sayang alamat tersebut adalah rumah yang tak berpenghuni. Hanya
keterangan tetangga terdekat yang menuntun mereka untuk segera menuju alamat
berikutnya.
Alamat
berikutnya pun segera mereka telusuri. Dan ternyata, di rumah tersebut hanya
tinggal seorang wanita paruh baya. Ternyata, wanita tersebut adalah adik bungsu
dari ayah kandungnya. Ditanya lebih lanjut tentang keberadaan ayahnya, wanita
itu hanya bisa memberikan keterangan bahwa saat ini ayahnya tengah menderita
sakit Jantung dan sudah dua kali menjalani operasi pemasangan alat di
jantungnya. Dari wanita itu pula lah, Syifa mendapatkan alamat ayahnya yang
saat ini ia tempati bersama keluarga barunya. Wanita itu tampaknya telah
mengenali siapa sosok gadis yang ada dihadapannya sekarang. Sehingga, ia tidak
berani untuk menceritakan banyak hal dan hanya bisa memberikan sebuah alamat
kepada keponakannya itu.
Tidak
terlalu lama ia berada disana. Syifa pun segera pamit dan langsung melanjutkan
perjalanan menuju alamat yang selanjutnya.
Berselang
dua puluh menit perjalanan, mereka akhirnya tiba di sebuah rumah bercat cokelat
yang nampak cukup megah. Letaknya pun di berada di kawasan perumahan yang
terbilang cukup elit di kota Makassar.
Ia segera
turun dari mobil bersama Dian dan rekan ayah Dian.
“Apa
benar ini rumahnya?” Syifa mencoba memastikan.
“Iya,
sudah betul nak. Ini rumahnya. Ayo, kita coba masuk dulu. Semoga ini memang
betul kediaman beliau”.
Mereka
tampak kaget begitu memasuki halaman rumah tersebut. Rumah tersebut nampak
sangat ramai. Nampak seperti ada acara yang tengah berlangsung disana.
Syifa pun
lalu bertanya kepada salah seorang tamu.
“Permisi
pak. Apa betul ini rumah Pak Tirta?”
“Iya nak.
Betul, ini rumah pak Tirta”
Belum
sempat Syifa melanjutkan pertanyaannya, tiba-tiba seorang wanita yang terlihat
seumuran dengannya menghampiri mereka. Ada yang ganjil ketika mereka berdua
saling bertatapan. Mereka terlihat begitu mirip. Raut wajah mereka seakan
menegaskan bahwa mereka mempunyai ikatan darah.
“Cari siapa
yah mbak?” tanya gadis itu dengan nada yang sedikit gemetar. Mungkin ia
merasakan hal yang sama kagetnya dengan Syifa yang merasa saling memiliki wajah
yang hampir mirip.
“Ini
mbak, saya mau tanya. Apa betul ini rumah pak Tirta?” Syifa kembali bertanya.
“Iya
mbak, betul. Ini rumah Pak Tirta. Mbak siapa yah? Darimana?”
“Saya
dari Jakarta mbak. Perkenalkan, saya Syifa anaknya pak Tirta”
“Oh..iya..iya
mbak. Silahkan masuk”. Gadis itu dengan ramahnya mengaja Syifa, Dian dan teman
ayah Dian untuk masuk. Seakan ia telah mengerti maksud kedatangan tamu-tamunya
itu.
Namun,
Syifa heran dengan sikap gadis itu.
“Pak
Tirta ada kan mbak?” Syifa kembali bertanya.
Gadis itu
terdiam sejenak, nampak kesedihan di wajahnya begitu mendengar pertanyaan
Syifa.
“Masuklah
dulu mbak. Di dalam mbak akan tahu semuanya”
Mereka
bertiga pun masuk kedalam rumah tersebut. Di dalam sama ramainya dengan di
luar. Dalam hati Syifa sudah dipenuhi dengan tanda tanya.
“Ini ada
acara apa sebetulnya yah? Mana Bapak? Syifa sudah tidak sabar bertemu dengan
beliau”.
Mereka
pun dipersilahkan duduk dan gadis itu segera masuk ke bagian dalam rumah
tersebut. Nampaknya, ia tengah memanggil seseorang untuk Ia pertemukan dengan
Syifa.
Sementara
Syifa masih asyik memperhatikan satu persatu foto keluarga yang terpajang di
ruangan tamu rumah tersebut. Dan memang betul, disana terpajang foto ayahnya.
Sementara sayup-sayup ia juga mendengar beberapa orang yang tengah melantunkan
ayat suci Al-Qur’an dari ruangan lain di dalam rumah tersebut.
Hatinya
kini mulai tidak karuan. Namun, ia tidak ingin berprasangka terlebih dahulu
sebelum ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tiba-tiba,
seorang wanita yang sedikit lebih muda dari ibunya keluar dari dalam bersama
gadis yang tadi menyambutnya.
Tanpa
basa basi, wanita itu langsung memeluk Syifa dan menangis.
“Ayahmu
sudah tidak ada nak. Ayahmu sudah meninggal. Maafkanlah ia nak”
Mendengar
pernyataan tersebut, Syifa ikut meneteskan air mata sambil melepas pelukan
wanita itu. Wanita itu adalah istri kedua ayahnya. Ternyata, sebelum meninggal,
pak Tirta telah menceritakan semuanya kepada istrinya tersebut bahwa ia juga
mempunayi seorang anak di Jakarta. Namun, karena pernikahan pak Tirta dengan
ibu Syifa waktu itu tidak mendapat restu dari nenek Syifa di Jakarta. Pak Tirta
meninggalkan ibunya.
“Apa bu?
Syifa tidak salah dengar?”
“Tidak
nak. Pak Tirta ayahmu sudah meninggal sejak sebulan yang lalu. Lihatlah nak,
saat ini kami tengah menggelar acara tahlilan untuk mengenang sebulan kepergian
beliau”.
Kali ini,
Syifa sudah yakin. Ia mencoba ikhlas menerima kepergian ayahnya. Meski ia belum
sempat bertemu secara langsung. Dan ia pun harus berbesar hati untuk menghapus
segala harapannya untuk melewati ramadhan dan merayakan lebaran tahun ini
bersama ayahnya.
Namun ia
tetap yakin, bahwa suatu saat nanti Allah akan memberikan tempat terindah untuk
ia dan ayahnya menghabiskan waktu dan menghapus segala kerinduannya. Insya Allahu Ta’ala.
Di
samping nisan ayahnya, ia hanya berujar dalam hati.
“Ku
ikhlaskan waktuku di dunia bersamamu ayah. Insya Allah, kita akan bertemu di
Surga Allah nanti. Salam rinduku selalu tercurah untukmu ayah. Tenanglah engkau
disana”.
TAMAT.
Pesan Terakhir Untukku
Allahuakbar..Allahuakbar..Allahuakbar…
Laa Ilaha Illallahuallahuakbar…
Allahuakbar Walillahil Hamd…
Kalimat Takbir yang berkumandang
malam itu terdengar begitu jelas di kuping Farid. Hatinya begitu bergetar
tatkala gema takbir terdengar olehnya. Tetesan air dari matanya pun sudah tak
sanggup ia bendung. Lelaki itu sementara menyiapkan dirinya menuju masjid untuk
ikut mengumandangkan takbiran. Begitu selesai bersiap-siap, ia pun berpamitan
dengan kedua orang tuanya dan mengajak adiknya Putri untuk bersama-sama menuju
masjid.
Sepulang dari takbiran, Farid
segera masuk ke kamarnya dan duduk terdiam di atas ranjang. Dalam diamnya,
secara spontan tubuhnya sudah berada di lantai, bersujud memanjatkan syukur
seraya memohon ampun kepada Allah.
Ia terbangun dari sujudnya. Farid segera
menyandarkan tubuhnya ke pinggiran ranjang dengan air mata yang tak hentinya
mengalir dari pelupuk matanya. Dalam isakannya, terlintas sebuah pengalaman yang
begitu menyakitkan baginya. Pengalaman yang mampu menyadarkan ia atas segala
kekhilafannya selama ini. Pengalaman yang mengharuskan Karin, kekasihnya yang
sudah setia menemaninya sejak dua tahun terakhir ini meninggal dunia.
Meninggalnya Karin membuat Farid terus merasa bersalah. Farid merasa bahwa
Karin meninggal atas kesalahannya.
Sore itu, sepulang dari kampus.
Farid dan Karin janjian untuk berbuka puasa bersama di sebuah Café favorit
mereka. Café itu letaknya tidak terlalu jauh dari kampus. Seusai makan malam,
mereka berdua pulang. Terlebih dahulu Farid mengantar Karin pulang dan setalah
itu ia pun kembali ke kostnya.
“Hati-hati yah di jalan, jangan
ngebut !” Karin mengingatkan kepada Farid.
“sip bos” Jawab Farid sambil
menyalakan mesin motornya.
Diperjalanan pulang, tiba-tiba
telepon genggam Farid berbunyi. Ia pun mengehentikan laju motornya dan segera
mengambil telepon genggam dari saku jaketnya. Di layar teleponnya tertulis nama
Rio. Rio adalah teman kampus Farid dan juga Karin. Mereka sama-sama kuliah di
jurusan yang sama.
“Iya halo Rio, ada apa ?” Jawab
Farid
“Rid, ngumpul yuk. Seperti biasa
!!”
Rupanya Rio mengajak Farid untuk
nongkrong di sebuah club malam. Dan tanpa pikir panjang, Farid pun mengiyakan
ajakan Rio. Padahal, Farid telah berjanji kepada orang tuanya dan juga Karin
untuk tidak lagi ke club malam bersama teman-temannya. Ia berjanji, karena ia
telah berulang kali dipergoki pulang ke kost dengan keadaan mabuk berat bahkan
ia pernah mengalami kecelakaan hebat pada saat pulang dari club malam, kasusnya
karena mabuk berat juga. Dan kali ini, rupanya janji Farid masih belum mampu ia
tepati.
“oke deh Rio. Di tempat biasa
kan?” Sambung Farid
“Iya. Sekarang yah. Anak-anak
udah pada ngumpul nih” Jawab Rio.
Farid pun berbalik arah dan
segera mennyusul Rio dan teman-temannya yang lain di club malam tempat mereka
sering nongkrong.
Namun, tanpa Farid sadari,
ternyata Karin mengikutinya sejak ia meninggalkan rumah Karin. Diam-diam Karin
mengikutinya dengan mengendarai sebuah motor dengan pakaian layaknya seorang
laki-laki lengkap dengan helm. Sehingga, Farid susah mengenalinya.
Ternyata, Karin sudah memiliki
firasat terhadap kekasihnya itu. Sebab, di kampus ia tidak sengaja mendengar
Rio membuat janji dengan teman-temannya untuk nongrong. Meskipun saat itu ia
tidak langsung mengajak Farid. Tapi, tetap saja Karin khawatir jika Rio
betul-betul mengajak Farid, sehingga ia rela melakukan penyamaran ini.
Setibanya Farid di club malam,
Karin membiarkan Farid masuk terlebih dahulu. Setelah beberapa saat, ia pun
kembali mengikuti Farid dan juga ikut masuk ke dalam club malam itu. Di dalam,
Karin sempat kebingungan mencari Farid, namun setelah lama mencari-cari ia pun
akhirnya menemukan sosok lelaki yang sangat ia sayangi itu.
Nampaknya, Farid sudah mulai menenggak
alcohol. Dari jarak sekitar tiga meter dari tempat duduk Farid, Karin terus
mengamati seraya mengumpulkan keberanian untuk menghampiri kekasihnya.
“pokoknya, kali ini saya harus
melakukan sesuatu yang membuatnya betul-betul meninggalkan dunianya ini. Ini
tidak bisa dibiarkan lagi” Gumam Karin dalam hatinya.
Setelah ia meyakinkan dirinya, ia
langsung berdiri dan menghampiri Farid yang nampaknya sudah mulai mabuk. Namun,
beruntung, karena ia masih mengenali sosok yang kini sudah berdiri di
hadapannya yang menatapnya dengan rasa kekecewaan.
“Hentikan Farid !” tegas Karin.
Farid sontak kaget dan meletakkan
gelas minuman yang sejak tadi ia genggam.
“Karin ? Kenapa kamu ada disini
sayang?” Jawab Farid yang mencoba mengontrol dirinya.
“Tidak usah banyak tanya kamu.
Sekarang ikut aku pulang!” Bentak Karin.
Sayangnya, Farid begitu susah
untuk mengontrol dirinya dan kembali mengambil segelas alcohol dan segera
mengarahkan gelas itu kemulutnya.
Namun, geraknya terlalu lemah
untuk menahan Karin merebut gelas itu dari tangannya. Farid semakin kaget
ketika ia melihat Karin malah meminum alcohol itu.
“Farid, lihat apa yang saya
lakukan? Sekali lagi kamu minum, saya juga akan ikut minum!”
Mendengar perkataan Karin
barusan, Farid semakin kaget dan langsung mengajak Karin keluar. Di luar
mereka bertengkar hebat dan Karin segera
memanggil taksi dan segera mengantar Farid pulang ke kost dan memastikan Farid
tertidur dan ia pun segera pulang kerumahnya.
Keesokan paginya, Farid terbangun
oleh deringan telepon genggamnya. Ternyata, telepon itu dari Syifa sahabat
Karin.
“Iya Syifa, ada apa?” Jawab
Farid.
“Segera kerumah sakit Pelita Rid,
Karin sakit.” Ucap Syifa dengan paniknya.
“Apa? Karin sakit? Sakit apa
Syif?” Farid kembali bertanya.
“Sudah, jangan banyak tanya.
Pokoknya kamu segera kerumah sakit saja” Syifa kembali berucap.
“Iya, iya Syif. Makasih infonya”.
Farid menutup telepon dan segera
menuju kerumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Farid
segera menuju ruang ICU tempat Karin dirawat. Ia begitu kaget ketika melihat
tubuh Karin yang sudah kaku. Sementara para perawat yang ada disana masih sibuk
melepas semua alat pernapasan yang sebelumnya melekat erat ditubuh Karin.
Usai melepas kepergian kekasihnya
itu. Farid bertemu dengan kedua orang tua Karin.
“Om..tante, sebenarnya Karin
sakit apa?” Farid membuka pembicaraan
“Ada hal yang tidak kamu ketahui
tentang Karin nak. Sebenarnya, sejak kecil Karin sudah mengidap sakit bawaan
pada jantungnya” Jawab ayah Karin. Sementara ibunda Karin tetap terdiam dengan
wajah yang nampaknya sangat terpukul.
Belum sempat Farid menjawab, ayah
Karin sudah melanjutkan pembicaraannya.
“Semalam nak, ketika kamu
mengantarnya pulang. Karin kembali meminta izin kepada om untuk keluar ke
minimarket. Katanya ada keperluan sedikit. Begitu pulang, dia mengeluh sakit
dan akhirnya pingsan. Akhirnya, kami larikan ia kerumah sakit. Sampai di rumah
sakit kami baru tahu dari dokter yang menanganinya bahwa penyakitnya semakin
akut karena ia baru saja menenggak alcohol. Om sangat tidak menyangka bahwa
Karin berani meminum minuman haram itu. Mungkin nak Farid tahu, apakah Karin
ada masalah? Karena setahu om dia tidak pernah begini”
Farid sangat terkejut dan shock
mendengar penjelasan ayah Karin. Ia pun dan menceritakan kejadian yang
sebenarnya terjadi pada malam itu.
Farid pun meminta maaf kepada
kedua orang tua Karin sambil berlutut dihadapan mereka berdua.
“Om..tante…Farid sangat menyesal.
Ini semua karena saya” Tutur Farid diiringi isakannya.
“Berdirilah nak. Yang penting
sekarang om sudah tahu hal yang sebenarnya. Om tidak berhak marah sama kamu.
Mungkin, inilah takdir Karin. Kami ikhlas nak. Tapi, om meminta kepada kamu,
tolong hargai pengorbanan Karin nak” Jawab ayah Karin tanpa rasa marah
sedikitpun.
Semenjak kejadian itu, Farid
tidak pernah lagi menyentuh minuman itu. Dia menjadi sosok lelaki yang jauh
berbeda dari sebelumnya.
Dalam setiap doanya, ia selalu
menghadirkan nama Karin. Baginya, Karin adalah sosok wanita yang sangat berarti
dalam hidupnya, yang mampu mengubahnya menjadi lelaki yang lebih baik.
“Tenanglah engkau disana Karin.
Insya Allah, pengorbananmu tidak akan aku sia-siakan. Engkau sangat berarti.
Sampai kapanpun tidak akan pernah ada yang mampu menggantikanmu”.
SELESAI.
2 komentar:
Assalamu'alaikum.. ana berkunjung di blog anti.. wah.. nice blog.. tampilan n tulisanx bagus.. bisa belajar banyak nih untuk ngeblogger.. kunjungi balik blog ana yah http://hidayah03.blogspot.com/
@Yaya Afifatunnisa: Waalaikumsalam anti... makasih atas kunjungannya yah...!!! :)
Posting Komentar