Kali ini tulisan saya tidak hanya sebatas pemikiran saja. Kali
ini saya akan membagikan pengalaman saya ketika beberapa kali mendapati diri di
sweeping oleh pak Polisi. Ada
beberapa kejadian lucu yang seringkali terulang ketika terkena sweeping.
Pengalaman ini berawal ketika saya hendak berangkat dari rumah
menuju ke kampus yang berjarak sekitar 7 km. Rumah saya yang terletak di sebuah
kompleks perumahan di Sungguminasa ini memiliki gerbang yang berbatasan
langsung dengan Jl. Poros Malino yang hampir setiap hari saya tempuh untuk
menuju ke kampus. Selain karena lebih dekat, jalan ini juga terbilang cukup
sepi oleh kendaraan. Maklumlah, saya belum lama bisa mengendarai kendaraan roda
dua. Jadi, setiap ingin keluar saya harus pintar-pintar mencari jalan yang
tidak begitu ramai.
Nah, Jl. Poros Malino ini kerap dijadikan lokasi yang
strategis oleh pak Polisi untuk menggelar sweeping
bagi para pengguna jalan. Mungkin, karena jalan ini merupakan jalan yang sering
dilintasi oleh kendaraan-kendaraan besar, seperti mobil truk. Ya, ini karena
sepanjang Jl. Poros Malino terdapat beberapa perusahaan-perusahaan penyedia
material bahan bangunan seperti pasir dan batu kerikil yang diambil langsung
dari pinggiran sungai Jeneberang. Jadi, sambil memeriksa kelengkapan para supir
truk, pak Polisi pun juga sekalian memeriksa kelengkapan berkendara para
pengguna jalan lain yang melintas jalan tersebut. Ini masih kemungkinan yaa.
Benar atau salahnya kemungkinan saya ini, harap dimaklumi saja. *nah loh*
Waktu itu, sebenarnya saya tidak ada jadwal perkuliahan. Hanya
karena ada urusan tugas kampus yang harus saya selesaikan segera, sehingga saya
harus memutuskan untuk tetap ke kampus siang itu. Selepas gerbang perumahan
saya lewati dan langsung menyentuhkan roda kendaraan saya diatas aspal Jl. Poros
Malino, saya pun merasa sedikit aneh. Tiba-tiba keringat dingin mengucur dari
kedua telapak tangan saya. Ternyata, ini respon dari feeling saya bahwa di depan sana memang sedang digelar sweeping. Sebelum sampai dihadapan pak
Polisi yang terlihat dari kejauhan sedang sibuk memeriksa pengguna jalan lain,
dalam hati saya bertanya-tanya dan sedikit was-was.
“Adaji itu dompetku kubawa ?” (Dompet saya ada di tas gak
yah?)
Pertanyaan ini seketika muncul, karena memang saya menyimpan
segala kelengkapan berkendara saya di dalam dompet. Saya meraba tas, tapi yang
dicari pun tak berhasil diraba.
Ini juga salah satu kebiasaan buruk saya, karena saya sering
lupa memeriksa kembali isi tas saya sebelum bepergian. Hingga kadang, saya
harus kembali pulang kerumah untuk mengambil barang yang ketinggalan. Paling sering,
saya harus pulang untuk mengambil tugas kuliah yang harus saya kumpulkan.
Dengan mengandalkan perasaan yang sedikit yakin membawa dompet
diiringi rasa was-was, saya dan kendaraan saya melaju pasti hingga tepat
melintas di depan pak Polisi hingga akhirnya saya diminta berhenti di tepi
jalan.
“Selamat siang, Dek. Boleh saya lihat SIM dan STNK nya?”
Begitu kata pak Polisi.
Tanpa berkata apa-apa dan dengan tangan yang masih bersimbah
keringat dan dengan wajah yang berusaha menunjukkan sikap yang biasa-biasa saja
namun tak berhasil serta dengan sedikit gemetar saya pun membuka tas dan segera
mencari-cari dompet. Beruntung, dompet berhasil ditemukan. Sedikit lega. Dompet
saya buka, dan beruntung STNK langsung menunjukkan dirinya. Namun…SIM entah
kemana larinya kali ini. Alhasil, tangan saya semakin gemetar mendapati dompet
saya tanpa SIM. Pak Polisi dengan senyum mengembang dan dengan ramahnya
merespon cepat tingkah saya.
“Tenang, Dek. Kalau ada pelanggaran, saya bantu”.
Dalam hati, saya menjawab “Bantu apa pak ? Bantu bikin surat
tilang maksudnya ?”.
Setelah beberapa saat mengutak-atik dompet. Akhirnyaaaaa…yang
dicari ketemu juga. Ternyata SIM nya nyangkut di lapisan dalam dompet saya. Begitu
menyodorkan SIM dan STNK untuk diperiksa, pak Polisi tampak mengerutkan
dahinya. Waduh, ada apa lagi ini ?.
Ternyata eh ternyata, pak Polisinya tidak percaya kalau saya
ini mahasiswa. Katanya, postur tubuh saya yang terbilang “pendek dan kecil” ini
tidak cukup meyakinkan orang lain. Maklum sajalah, kan banyak tuh orang yang
belum cukup umur dan malah memanfaatkan jasa joki pembuat SIM tembak. Jadilah,
saya ditanya-tanya tentang status saya sebagai mahasiswa.
“Kuliah dimana, Dek?”
“Di UIN, Pak”. Jawab saya dengan datarnya.
“Ooo, sudah semester berapa ?” Tanya pak Polisi lagi.
“Semester 6, Pak”.
Lagi-lagi pak pak Polisi mengernyitkan dahi dan menunjukkan
rasa yang lebih tidak percaya dari tadi.
“Ah, masa ? Kenapa kayak anak SMP ?”
Jlebbbb….kali ini saya diam saja lah. Pasrah, kalau-kalau pak
Polisi tetap tidak yakin. Tapi kalau iya, mungkin masih ada jalan terakhir
untuk menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa saya.
Untungnya, pak Polisi yang baik hati ini bisa yakin juga. Dan
akhirnya, saya dipersilahkan melanjutkan perjalanan.
Pengalaman-pengalaman saya selanjutnya saat terkena sweeping lebih bervariasi lagi. Tapi,
lebih banyak mendapati pak Polisi yang tidak begitu percaya kalau saya ini
sudah mahasiswa. Addduuuhhh….
Bonusnya, buat teman-teman yang mungkin punya pengalaman
sering terkena sweeping seperti saya.
Setiap bepergian jangan sampai lupa atau bahkan sengaja tidak membawa
kelengkapan berkendara Anda. Jangan sampai ujung-ujungnya menyalahkan pak
Polisi kalau harus ditilang dan berurusan di pengadilan. Tertib hukum kan
imbasnya ke kita juga. Denga tertib
hukum, keleluasaan bagi para oknum yang tidak bertanggung jawab bisa diminimalisir.
Buat para pak Polisi, tetap lakukan yang terbaik, Pak. Menjadi
pengayom bagi masyarakat, itulah tugasmu yang bernilai mulia di mataNya.
Ikhlasmu dalam menjalankan tugas, semoga menjadi saksimu kelak dihadapanNya.
2 komentar:
heheh berarti awet muda donk dik :), kasih aja KTM biar pak polisi percaya tuh :), smngat menulis yah
@meutia rahmah:Iya kak. Lain kali klo masih kayak gitu, bakalan sy tunjukin KTM nya :D Syukran kak :)
Posting Komentar