Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Blogger Template From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selamat Membaca dan Terima Kasih atas Kunjungannya

Selasa, 30 Juli 2013

Fungsi Komunikasi yang Terdapat Pada Budaya Angngaru (ARU) di Kabupaten Gowa

Akhirnya, saya berhasil juga merangkak dari zona nyaman saya selama liburan. Terlalu asyik bersantai dengan hal-hal yang tidak menghasilkan apa-apa, membuat saya merasa menjadi manusia paling “malas”. Beruntung, hari ini saya tiba-tiba teringat dengan blog tercinta saya. Iya, cinta banget. Haha….

Sebenarnya, ketika saya tiba-tiba ingat sama akun blog saya, saya pun masih bingung mau nulis apa yaah ? Berpikir dan berpikir, saya akhirnya memutuskan untuk login saja. Siapa tahu, pas saya login saya bisa mendapat inspirasi. Benar saja, begitu saya sudah login, saya melihat tulisan-tulisan dari teman-teman  sesama blogger di laman dasbor saya. Deretan tulisan tersebutlah, yang semakin memotivasi saya untuk “tidak membuat akun blog saya menjadi blog yang basi”.
Saya akhirnya memutuskan untuk mem-posting salah satu tulisan saya, yang akan mengangkat tentang salah satu kebudayaan lokal di Kabupaten Gowa, daerah kelahiran saya, yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Salah satu kebudayaan yang saya maksud ialah budaya Angngaru (ARU). Sebentar, pada bagian tulisan saya, akan dijelaskan lebih lanjut tentang apa dan bagaimana budaya yang saya maksud tersebut. Dan, sebagai titik fokus dari tulisan saya ini, saya akan menghubungkannya dengan salah satu sub pada bidang ilmu saya, yaitu ilmu komunikasi. Tepatnya, tulisan tentang budaya Angngaru (ARU) ini akan saya kaitkan dengan fungsi komunikasi. Sebab, saya berpikir bahwa dalam budaya Angngaru (ARU) ini terdapat sebuah nilai-nilai kehidupan yang bertindak sebagai fungsi komunikasi. Pentingnya nilai-nilai kehidupan berarti pula bahwa budaya tersebut harus dilestarikan agar fungsi komunikasi dapat terus dirasakan oleh masyarakat. Dan, hal yang paling dekat dengan masyarakat ialah kebudayaan. Inilah yang mendasari, mengapa saya mengaitkan keduanya. Selain alasan tersebut, saya merasa sangat perlu untuk membagikan ini kepada blog walker yang semoga tertarik membacanya. Mengapa ? Karena, literature-literature online yang membahas tentang budaya ini sangat kurang. And then…semoga tulisan saya kali ini bisa membantu dalam menambah ilmu.
Angngaru (ARU) adalah semacam ikrar atau janji para ksatria dimasa lampau kepada para raja. Bahkan, para raja pun ikut mengucapkan janji tersebut kepada rakyatnya sebagai bukti bahwa pemimpin tersebut bersedia melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Selain itu, Angngaru (ARU) hanya digunakan dalam berbagai hal antara lain upacara adat atau penyambutan tamu-tamu agung. Angngaru (ARU) ini merupakan ciri khas dari masyarakat Gowa yang tidak dimiliki oleh masyarakat lainnya.
Dengan memahami bahwa adanya nilai-nilai kehidupan pada budaya Angngaru (ARU) tersebut maka dapat diidentifikasi bahwa Angngaru adalah sebuah budaya yang memang patut untuk dilestarikan. Sebab, makna mengenai pengucapan ikrar atau janji tersebut masih sangat perlu ditampilkan hingga saat ini.

Tidak berhenti sampai disitu, pesan yang terkandung didalamnya mengenai ikrar atau sumpah tersebut jelas memberi kontribusi terhadap fungsi komunikasi bagi masyarakat. Hadirnya budaya Angngaru (ARU) dapat semakin membuktikan bahwa budaya tersebut dapat dijadikan sebuah sarana untuk membangun keharmonisan pada masyarakat Gowa secara khusus, terlebih pada upaya untuk menjaga keharmonisan antara para pemimpin dan rakyatnya.
Selain itu, pada budaya Angngaru (ARU) ini sangat erat kaitannya dengan bahasa. Bahasa yang digunakan pada Aru adalah bahasa daerah Makassar yang juga merupakan alat komunikasi.
Bahasa juga menjadi inti dari komunikasi sekaligus sebagai pembuka realitas bagi manusia. Kemudian dengan komunikasi, manusia membentuk masyarakat dan kebudayaannya. Sehingga bahasa secara tidak langsung turut membentuk kebudayaan pada manusia. Bahasa hidup dalam komunikasi untuk menciptakan budaya, kemudian budaya itu sendiri yang pada akhirnya akan membentuk sistem komunikasi dan bentuk bahasa seperti apa yang pantas untuknya.
Budaya Angngaru (ARU) ini tidak serta merta menjadi kebudayaan di Kabupaten Gowa. Terdapat serangkaian proses yang akhirnya menjadikan budaya ini melekat pada masyarakat. Dan, hal tersebutlah yang selanjutnya akan saya bahas.
Kabupaten Gowa yang merupakan salah satu bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan yang cukup terkenal sebagai salah satu kerajaan besar di masa silam dan cukup memberikan pengaruh bagi Nusantara kala itu dapat dipastikan memiliki kekuasaan yang cukup besar pula yang disegani oleh kawan dan lawannya.
Diperolehnya kekuasaan tersebut tidak terlepas dari peran para ksatria yaitu laskar pemberani atau dalam bahasa Makassar disebut tubarani yang taat kepada rajanya, dan selalu mengucapkan ikrar atau janji dalam mengemban tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya. Ikrar atau janji yang diucapkan tersebut disebut Aru atau Angngaru. Aru sendiri berarti pesan yang hendak disampaikan, sedangkan Angngaru berarti menyampaikan Aru.
Aru atau Angngaru adalah semacam ikrar atau ungkapan sumpah setia yang sering disampaikan oleh orang-orang Gowa di masa silam, biasanya diucapkan oleh bawahan kepada atasannya, abdi kerajaan kepada rajanya, prajurit kepada komandannya, masyarakat kepada pemerintahannya, bahkan juga dapat diucapkan seorang raja (pemerintah) terhadap rakyatnya, bahwa apa yang telah diungkapkan dalam Aru itu akan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, baik untuk kepentingan Pemerintahan di masa damai maupun di masa perang. Di masa-masa perdamaian, dalam tradisinya, pemerintahan Kerajaan Gowa di masa silam, para pejabat kerajaan yang baru diangkat terlebih dahulu mengucapkan Aru sebelum melaksanakan tugasnya dihadapan para raja.
Selain itu, pada masa peperangan, para prajurit kerajaan Gowa yang akan berangkat ke medan perang terlebih dahulu mengucapkan Aru di depan rajanya bahwa ia akan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mempertahankan wilayah kerajaan, membela kebenaran dan tak akan mundur selangkahpun sebelum musuh melangkahi mayatnya.
Tidak hanya sebatas itu, pada saat sekarang Aru masih sering diperdengarkan dalam berbagai hal, antara lain pada upacara-upacara adat atau penyambutan tamu-tamu agung. Upaya masyarakat untuk melestarikan budaya tersebut juga bisa dilihat pada lomba-lomba kesenian untuk kalangan pelajar yang memasukkan Angngaru atau Aru ini kedalam salah satu kategori lomba. Kalangan mahasiswa pun tidak mau ketinggalan. Pada beberapa kesempatan, seperti pada seminar kebudayaan atau pagelaran seni atau di acara-acara formal, mereka kadang menghadirkan budaya Aru atau Angngaru ini.
Pada keterangan lain menyebutkan bahwa Aru pada mulanya merupakan perjanjian (ikrar) antara raja dengan bate salapang (pemerintahan otonom) yang di dalamnya terkandung batas-batas kekuasaan atau kewenangan antara raja di satu pihak dengan Bate Salapang yang mewakili rakyat di daerahnya di lain pihak sehingga dapat kita lihat bahwa Aru itu berkekuatan sebagai undang-undang atau peraturan yang harus ditaati kedua pihak demi terwujudnya penyelenggaraan yang demokratis.
Dari keterangan-keterangan tentang sejarah Angngaru (ARU) tersebutlah yang kemudian menimbulkan asumsi bahwa adanya komunikasi yang menjadikan Angngaru (ARU) ini sebagai proses budaya. Dikatakan demikian, karena Angngaru (ARU) diwujudkan dalam bentuk bahasa. Sedangkan bahasa adalah alat komunikasi.
Kemudian, pesan apa saja yang terkandung dalam budaya Angngaru (ARU) ? Sesuai dengan pengertian Angngaru atau Aru yang berarti sebagai pengucapan janji atau ikrar seorang ksatria kepada rajanya atau pengucapan janji seorang pemimpin kepada rakyatnya sebelum menjalankan tugas, maka di dalam budaya Angngaru atau Aru ini tentulah memiliki pesan yang hendak disampaikan oleh si penyampai pesan atau komunikator kepada raja atau rakyat sebagai komunikan. Susunan kalimatnya cukup ringkas menyerupai puisi namun dari kalimat tersebut terkandung kesetiaan masyarakat terhadap kesatuan wilayahnya yang diwakili oleh rakyatnya. Tidak hanya pada konteks situasi budaya Angngaru atau Aru memiliki pesan, namun pada teknik menyampaikan atau pada saat sekarang disebut dengan teknik memainkan pun budaya Angngaru atau Aru ini juga memiliki pesan.
Teknik memainkan Aru sebagaimana biasanya apabila akan menyampaikan suatu sumpah atau ikrar dihadapan seorang raja, maka dipilihlah seseorang dari wakil masyarakat atau tubarani untuk mengucapkan sumpah setia (Aru). Orang yang terpilih umumnya mempunyai vocal yang lantang, wajah yang seram, berani menantang wajah sang raja. Yang terpilih ini juga merupakan suatu kehormatan berhadapan dengan sang raja dan pembesar lainnya (sekarang berhadapan dengan para pejabat dan petinggi lainnya), dan mendapat tempat yang penting di tengah-tengah masyarakat.

Source: Google.com

Maksud dipilihnya orang yang memiliki vocal yang lantang dalam mengucapkan Aru ialah agar sumpah tersebut dapat diterima dengan baik oleh penerima dan agar tujuan untuk memberikan dorongan serta motivasi dapat terwujud. Sedangkan tujuan dipilihnya orang dengan wajah yang seram menunjukkan adanya kesungguhan untuk menjaga wilayah kerajaan. Sementara, maksud dipilihnya orang yang memiliki keberanian menantang wajah sang raja ialah agar sang raja dapat melihat bahwa para ksatria tersebut betul-betul memiliki semangat juang yang tinggi, kesetiaan serta bertanggung jawab.
Pada saat tampil di hadapan sang raja, pembawa Aru sudah harus menampakkan wajah ksatriaan, wajah loyalitas dan wajah yang menunjukkan adanya dedikasi yang tinggi. Sikap badan harus tegap, sambil mencabut keris (badik) sang pembawa Aru menyampaikan arunya dan mempermainkan kerisnya sesuai dengan apa yang diucapkan.
Selain pembawaan yang demikian, ada unsur lain yang didalamnya juga terdapat pesan yang hendak disampaikan pada budaya Angngaru atau Aru ini, ialah ketika seseorang Angngaru (mengucapkan janji) ia diiringi oleh bunyi-bunyian genderang, diiringi pula oleh pukulan gong dan puik-puik (semacam bangsi yang terbuat dari kayu atau logam). Jadi, dapatlah dikatakan bahwa Aru itu adalah sebagai alat yang penting untuk membakar semangat perjuangan.

source: google.com


Puik-puik yang Digunakan Bersama Genderang Sebagai Pengiring Musik Dalam Angngaru 
Source : google.com

Adapun teks Aru yang sering diucapkan oleh para ksatria disebut “Aru Tubaranina Gowa” (Aru pemberani), Aru Buleng-bulengna Mangasa (nama dari salah satu kelompok pejuang di Kabupaten Gowa), Aru Tubarani Na Turayayya, Aru Bate Salapang Battu Ri Gowa. Berikut isi dari syair-syair Aru tersebut.
1.     Aru Tubaranina Gowa
Bismillahirrahmanirrahiim
Atta …… Karaeng
Tabe’ kipammopporang mama’
Ridallekang labbiritta
Risa’ri karatuanta
Riempoang mtinggita

Inakke mine, Karaeng
Lambara tatassa’la’na Gowa


Nakareppekangi sallang, Karaeng
Pangngulu ri barugayya
Nakatepokangi sallang Karaeng
Pasorang attangnga parang

Inai – naimo sallang, Karaeng
Tamappattojengi tojenga
Tamappiadaki adaka

Kusalagai sirinna
Kuisara parallakkenna

Barangja kunipatebba
Pangkulu kunisoeyang

Ikau anging, Karaeng
Naikambe lekok kayu
Mirikko anging
Namarunang lekok kayu
Iya sani madidiyaji nurunang

Ikau je’ne, Karaeng
Naikambe batang mammayu
Solongko je’ne
Namammayu batang kayu
Iya sani sompo bonangpi kianyu
Ikau jarung, Karaeng
Naikambe bannang panjai
Ta’leko jarung
Namminawang bannang panjai
Iya sani lambusuppi nakontu tojeng
Makkanamamaki mae, Karaeng
Naikambe mappa’jari
Manyyabbu mamaki mae Karaeng
Naikambe mappa’rupa

Punna sallang takammaya
Aruku ri dallekanta
Pangkai jerakku
Tinra’bate onjokku

Pauwang ana’ri book
Pasang ana’tanjari
Tumakkanayya’ Karaeng
Natanarupai janjinna

Sikammajinne aruku ri dallekanta
Dasi na dasi nana tarima pa’ngaruku
Salama ….

Artinya :
Bismillahirrahmanirrahiim
Sungguh …… Karaeng (raja)
Maafkan aku
Di hari baanmu yang mulia
Di sisi kebesaranmu
Di tahta yang agung

Akulah ini Karaeng
Satria dari Tanah – Gowa

Akan memecahkan kelak
Hulu keris di arena
Akan mematahkan kelak
Gagang tombak di tengah gelanggang
Barang siapa jua
Yang tak membenarkan kebenaran
Yang menentang adat budaya
Kuhancurkan tempatnya berpijak
Kululuhkan ruang geraknya
Aku ibarat parang yang diletakkan
Kapak yang diayungkan

Engkau ibarat angin Karaeng
Aku ini ibarat daun kayu
Berhembuslah wahai angin
Kurela gugur bersamamu
Hanya sanya yang kuning kau gugurkan

Engkau ibarat air, Karaeng
Aku ini ibarat batang kayu
Mengalirlah wahai air
Kurela hanyut bersamamu
Hanya sanya di air pasang kami hanyut

Engkau ibarat jarum, Karaeng
Aku ini ibarat benang kelindang
Menembuslah wahai jarum
Kan kuikut bekas jejakmu

Bersabdalah wahai Karaeng
Aku akan berbuat
Bertitahlah wahai Karaeng
Aku akan berbakti

Bilamana kelak janji ini tidak kutepati
Sebagaimana ikrarku di hadapanmu
Pasak pusaraku
Coret namaku dalam sejarah
Sampaikan pada generasi mendatang
Pesankan pada anak cucu
Apabila hanya mampu berikrar, Karaeng
Tapi tidak mampu berbuat bakti
Demikianlah ikrarku dihadapanmu
Semoga Tuhan Mengabulkannya
Amien ……

2.     Aru Bulaeng-bulaengna Mangasa
Cini-cini mami sallang Karaeng
Bulaeng-bulaengna Mangasa
Jangang tani pakkurua
Bukkuru tani kadoa

Iya iyannamo sallang Karaeng
Rewa angngang na inakke
Tampa tetea ri ada
Kupolong tallu pokeku attangnga parang
Kupolong appaki selekku abbangkeng romang

Iya iyanamo sallang Karaeng
Rewa angngang na inakke
Iya iyanamo sallang Karaeng
Barani yangngang na make
Se’re lipa’ kuruwai warakanna Parangtambung
Se’re lipa’ kuruwai timboranna Bulussari

Nani cini buraknena burakneya
Tanrinna tau lolowa
Dampenna anak raraya
Tena jail kawang tana katto
Benteng tangnga tana ambi
Tena todong bili tang pantamai

Kamma tommama sallang Karaeng
Laying-layang nionjong attangnga parang
Nari’bakkang anak ratite
Nalollong anak mariyang
Nampa kukana sallang Karaeng
Inakke minne farina buleng-bulengna Mangasa

Artinya :
Karaeng, kelak akan terlihat
Buleng-bulengna Mangasa
Ayam jantan si penantan
Perkutut membuat tak berkutik

Kareng, barang siapa kelak
Lebih jantan dari kami
Yang tidak mengenal adat
Akan kupatahkan tombakku ditengah padang
Akan kupatahkan badikku di tengah bukit

Karaeng, barang siapa kelak
Lebih jantan dari kami
Selembar sarung kelak berdua
Berlaga di dekat Parangtambung
Bertarung dekat Gunungsari
Kelak kelihatan siapa yang lebih jantan
Kelak kelihatan siapa yang lebih berani

Semua tiang akan dipanjat
Semua bilik akan dibongkar

Kami kelak seperti layang-layang
Melayang ditengah angkasa
Melayang dengan perahu meriam
Kami adalah buleng-bulengna Mangasa

3.     Aru Tubaranina Na Turayayya
Karaengku, pammopporang mama’ jai dudu
Tassampe tompa sallang Karaeng
Ri monconna Manggarupi, naerang anak mariyang
Nanampa kukana Karaeng

Inakke minne barambang bĂȘte-beteyya
Ganrang batua Karaeng
Kukkulu’ sallo mateya

Kapoppo’ toa ammaku’ Karaeng
Kaparakang toa nenekku’ Karaeng
Tena butta tana onjo
Moncong tinggi tana ambi
Romang lantang tana soso
Passiringang tana limbang
Bilik tana pantamai
Punna sa’ramo allowa
Tena tau tana mu’musu’ atenna
Rilebba lantang bangngiyya
Tena tau tana lekkere’ atenna

Artinya:
Karaeng, kelak akan tersangkut
Tersangkut di bukit Manggarupi
Diterbangkan oleh peluru anak meriam
Kami akan menoleh
Kami akan mengatakan
Kami adalah ayam jantan dari timur

Drakula tua ibuku
Drakula tua nenekku
Semua daerah telah didatangi
Semua gunung telah didaki
Semua hutan telah dimasuki
Semua kolong telah dimasuki
Semua bilik pasti dibongkar

Kalau senja telah mendatang
Akan kuisap darahnya
Selepas tengah malam
Akan kumakan hatinya

4.     Aru Bate Salapang Battu Ri Gowa
Sombangku
Kipammopporang mama’ jai dudu Karaeng
Iya-iyannamo sallang ambunduki butta Gowa
Iya-iyannamo sallang lambangkai Somba Opu
Iya-iyannamo sallang lampatinompangi Barombong
Inakke sallang angngagangi sibarambang

Laku palangei sallang jarangku
Laku palangei bombing talluna Mamampang
Kamma tommama sallang mangiwang lanra’bbukiyya
Pantaranna taka’ panjeng, laukanna Lae-lae

Napintujumpa sallang ammanyu
Siallo sallang ammanyu jarangku, rawanganna Samalona
Assulu’ tompi sallang ceraka ri ka’murunna
Naku nampa ammoterang
Nampa nacini bole-bolena Mamampang
Nampa nicini passiki’na moncong-moncong
Nampa nikana inakke minne atenna butta Gowa
Inakke minne parru lolonna Barombong
Inakke minne pallakiya ri Bise
Inakke minne bura’ne tani gandaya
Inakke minne barambang bete-beteyya

Artinya :
Yang Mulia
Karaeng, maafkan beribu maaf
Barang siapa kelak yang melawan kerajaan Gowa
Barang siapa kelak yang meruntuhkan Somba Opu
Barang siapa kelak yang menyerang Barombong
Kami yang akan menghadapi dia


Kelak akan bererang bersama kuda kami
Kami akan berenang bersama bombang talluna Mamampang
Akan seperti buaya yang menerkam mangsa
Kelak akan hanyut sebanyak tujuh kali
Akan hanyut dekat pulau Samalona
Kelak akan keluar darah dari hidungnya
Kalau sudah seperti itu, baru saya akan kembali

Akan terlihat peemberani dari Barombong
Akan terlihat pemberani dari perbukitan
Akan digelar julukan hatinya Gowa
Kami adalah pemberani dari Barombong
Kami adalah pejantan dari tanah Bisei
                                                Kami adalah pemberani yang pantang mundur. 



Teks Aru dalam Tulisan Lontara Makassar
Source: dokumen pribadi

Dari keempat teks syair Aru tersebut dapat kita lihat pesan apa yang ingin disampaikan oleh para penyampainya. Tampak jelas adanya sebuah ikrar, janji atau sumpah setia para ksatria dan pemimpin yang betul-betul harus diemban. Tidak hanya sekedar diucapkan, akan tetapi harus dipenuhi, terlebih karena Aru tersebut memiliki nilai magis dan religius yang selalu mengingatkan betapa pentingnya sebuah janji harus ditepati. Dari situ pula, kita bisa melihat secara jelas adanya semangat juang yang tinggi dari para ksatria dan motivasi serta dorongan yang kuat untuk mewujudkan cita-cita bagi para pemimpin.
 Poin inti dari tulisan saya ini ialah, apa fungsi komunikasi yang terdapat dalam budaya Angngaru (ARU) ? Seorang pakar ilmu komunikasi, Harold D. Lasswell mengemukakan fungsi-fungsi komunikasi :
1.     Penjagaan / pengawasan lingkungan (surveillance of the environment);
2.  Menghubungkan bagian-bagian yang terpisah dari masyarakat untuk menanggapi lingkungannya (correlation of the part of society in responding to the environment); dan
3.  Menurunkan warisan sosial dari generasi ke generasi berikutnya (transmission of the social heritage).

Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa ada tiga kelompok yang selama ini melaksanakakan ketiga fungsi tersebut. Fungsi pertama, dijalankan oleh para diplomat, atase dan koresponden luar negeri sebagai usaha menjaga lingkungan. Fungsi kedua, lebih diperankan oleh para editor, wartawan dan para juru bicara sebagai penghubung respon internal. Sedangkan fungsi ketiga, adalah para pendidik di dalam pendidikan formal ataupun informal karena terlibat mewariskan adat kebiasaan, nilai dari generasi ke genarasi.
 Charles R. Wright (1988) menambahkan satu fungsi yakni entertainment (hiburan) yang menunjukkan pada tindakan-tindakan komunikatif yang terutama sekali dimaksudkan untuk menghibur dengan tidak mengindahkan efek-efek instrumental yang dimilikinya.
 Fungsi pengawasan menunjukkan pengumpulan dan distribusi informasi baik di dalam maupun di luar masyarakat tertentu. Tindakan menghubungkan bagian-bagian meliputi interpretasi informasi mengenai lingkungan dan pemakainya untuk berperilaku dalam reaksinya terhadap peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian tadi. Adapun fungsi warisan sosial berfokus pada pengetahuan, nilai, dan norma sosial.
 Menelaah fungsi-fungsi komunikasi tersebut, sudah dapat diidentifikasi bahwa pada budaya Angngaru atau Aru terdapat fungsi komunikasi. Dari ketiga fungsi yang dikemukakan oleh Harold D. Laswell, fungsi yang ketiga budaya Angngaru atau Aru berperan. Dikatakan pada fungsi yang ketiga tersebut bahwa, komunikasi berfungsi menurunkan warisan sosial dari generasi ke genarasi berikutnya. Dapat diartikan bahwa pesan yang terkandung pada budaya Angngaru atau Aru juga bertujuan untuk menurunkan warisan sosial dari generasi ke generasi. Warisan sosial yang dimaksud terdapat pada budaya Angngaru atau Aru ialah :
1.     Pengetahuan, melalui budaya Angngaru atau Aru dapat memberikan pengetahuan bagi tiap-tiap generasi tentang sejarah kerajaan Gowa.
2.     Nilai, melalui budaya Angngaru atau Aru dapat memberikan pemahaman mengenai nilai kehidupan yakni nilai magis dan religius yang terkandung dalam budaya tersebut yang harus selalu dijaga. Sebab, dari nilai-nilai tersebutlah maka tiap generasi akan selalu memahami arti penting pengucapan sebuah ikrar, janji atau sumpah setia.

3.     Norma sosial, melalui budaya Angngaru atau Aru ini dapat memberikan pemahaman kepada tiap generasi seberapa pentingnya melaksanakan sebuah amanah. Sehingga muncul rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diemban. Melalui fungsi ini pula para pemimpin disadarkan bahwa ada aturan-aturan yang selalu mengikat, sehingga para pemimpin mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. 
Sama halnya dengan fungsi komunikasi yang ditambahkan oleh Charles R. Wright, yakni komunikasi berfungsi sebagai hiburan. Fungsi komunikasi tersebut sangat jelas dirasakan terdapat pada budaya Angngaru atau Aru pada saat sekarang. Dimana budaya Angngaru atau Aru saat ini sering ditampilkan pada berbagai acara-acara kesenian. Dikategorikannya Aru saat ini kedalam kesenian sastra Makassar telah memberikan cermin bahwa budaya Angngaru atau Aru juga berfungsi sebagai hiburan.



Daftar Pustaka:
Basang, Djirong. Taman Sastra Makassar. Ujung pandang: CV. ALAM Ujung Pandang, 1988

Limpo, Syahrul Yasin, Adi Suryadi Culla, dan Zainuddin Tika. Profil Sejarah Budaya dan Pariwisata GOWA. Sungguminasa: INTISARI, 1995.

Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Malang: PT. Rajagrafindo Persada, 2003.

Tim Media. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Media Centre.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Please Smile...!!!

Segalanya akan indah jika kita menyadari bahwa tak ada di dunia ini yang sia-sia