Akhirnya,
saya berhasil juga merangkak dari zona nyaman saya selama liburan. Terlalu
asyik bersantai dengan hal-hal yang tidak menghasilkan apa-apa, membuat saya
merasa menjadi manusia paling “malas”. Beruntung, hari ini saya tiba-tiba
teringat dengan blog tercinta saya. Iya, cinta banget. Haha….
Sebenarnya,
ketika saya tiba-tiba ingat sama akun blog saya, saya pun masih bingung mau
nulis apa yaah ? Berpikir dan berpikir, saya akhirnya memutuskan untuk login
saja. Siapa tahu, pas saya login saya bisa mendapat inspirasi. Benar saja,
begitu saya sudah login, saya melihat tulisan-tulisan dari teman-teman sesama blogger
di laman dasbor saya. Deretan
tulisan tersebutlah, yang semakin memotivasi saya untuk “tidak membuat akun
blog saya menjadi blog yang basi”.
Saya
akhirnya memutuskan untuk mem-posting
salah satu tulisan saya, yang akan mengangkat tentang salah satu kebudayaan lokal
di Kabupaten Gowa, daerah kelahiran saya, yang terletak di Provinsi Sulawesi
Selatan. Salah satu kebudayaan yang saya maksud ialah budaya Angngaru (ARU).
Sebentar, pada bagian tulisan saya, akan dijelaskan lebih lanjut tentang apa
dan bagaimana budaya yang saya maksud tersebut. Dan, sebagai titik fokus dari
tulisan saya ini, saya akan menghubungkannya dengan salah satu sub pada bidang
ilmu saya, yaitu ilmu komunikasi. Tepatnya, tulisan tentang budaya Angngaru
(ARU) ini akan saya kaitkan dengan fungsi komunikasi. Sebab, saya berpikir
bahwa dalam budaya Angngaru (ARU) ini terdapat
sebuah nilai-nilai kehidupan yang bertindak sebagai fungsi komunikasi. Pentingnya
nilai-nilai kehidupan berarti pula bahwa budaya tersebut harus dilestarikan
agar fungsi komunikasi dapat terus dirasakan oleh masyarakat. Dan, hal yang
paling dekat dengan masyarakat ialah kebudayaan. Inilah yang mendasari, mengapa
saya mengaitkan keduanya. Selain alasan tersebut, saya merasa sangat perlu
untuk membagikan ini kepada blog walker
yang semoga tertarik membacanya. Mengapa ? Karena, literature-literature online yang membahas tentang budaya ini
sangat kurang. And then…semoga tulisan saya kali ini bisa membantu dalam
menambah ilmu.
Angngaru (ARU) adalah semacam ikrar
atau janji para ksatria dimasa lampau kepada para raja. Bahkan, para raja pun
ikut mengucapkan janji tersebut kepada rakyatnya sebagai bukti bahwa pemimpin
tersebut bersedia melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Selain itu,
Angngaru (ARU) hanya digunakan dalam berbagai hal antara lain upacara adat atau
penyambutan tamu-tamu agung. Angngaru (ARU) ini merupakan ciri khas dari
masyarakat Gowa yang tidak dimiliki oleh masyarakat lainnya.
Dengan memahami bahwa adanya
nilai-nilai kehidupan pada budaya Angngaru (ARU) tersebut maka dapat
diidentifikasi bahwa Angngaru adalah sebuah budaya yang memang patut untuk
dilestarikan. Sebab, makna mengenai pengucapan ikrar atau janji tersebut masih
sangat perlu ditampilkan hingga saat ini.
Tidak berhenti sampai disitu, pesan
yang terkandung didalamnya mengenai ikrar atau sumpah tersebut jelas memberi
kontribusi terhadap fungsi komunikasi bagi masyarakat. Hadirnya budaya Angngaru
(ARU) dapat semakin membuktikan bahwa budaya tersebut dapat dijadikan sebuah
sarana untuk membangun keharmonisan pada masyarakat Gowa secara khusus,
terlebih pada upaya untuk menjaga keharmonisan antara para pemimpin dan
rakyatnya.
Selain itu, pada budaya Angngaru (ARU)
ini sangat erat kaitannya dengan bahasa. Bahasa yang digunakan pada Aru adalah
bahasa daerah Makassar yang juga merupakan alat komunikasi.
Bahasa juga menjadi inti dari
komunikasi sekaligus sebagai pembuka realitas bagi manusia. Kemudian dengan
komunikasi, manusia membentuk masyarakat dan kebudayaannya. Sehingga bahasa
secara tidak langsung turut membentuk kebudayaan pada manusia. Bahasa hidup
dalam komunikasi untuk menciptakan budaya, kemudian budaya itu sendiri yang
pada akhirnya akan membentuk sistem komunikasi dan bentuk bahasa seperti apa
yang pantas untuknya.
Budaya Angngaru (ARU) ini tidak serta
merta menjadi kebudayaan di Kabupaten Gowa. Terdapat serangkaian proses yang
akhirnya menjadikan budaya ini melekat pada masyarakat. Dan, hal tersebutlah
yang selanjutnya akan saya bahas.
Kabupaten Gowa yang merupakan salah
satu bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan yang cukup terkenal sebagai salah
satu kerajaan besar di masa silam dan cukup memberikan pengaruh bagi Nusantara
kala itu dapat dipastikan memiliki kekuasaan yang cukup besar pula yang
disegani oleh kawan dan lawannya.
Diperolehnya kekuasaan tersebut tidak
terlepas dari peran para ksatria yaitu laskar pemberani atau dalam bahasa
Makassar disebut tubarani yang taat
kepada rajanya, dan selalu mengucapkan ikrar atau janji dalam mengemban
tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya. Ikrar atau janji yang diucapkan tersebut
disebut Aru atau Angngaru. Aru sendiri berarti pesan yang hendak disampaikan,
sedangkan Angngaru berarti menyampaikan Aru.
Aru atau Angngaru adalah semacam ikrar
atau ungkapan sumpah setia yang sering disampaikan oleh orang-orang Gowa di
masa silam, biasanya diucapkan oleh bawahan kepada atasannya, abdi kerajaan
kepada rajanya, prajurit kepada komandannya, masyarakat kepada pemerintahannya,
bahkan juga dapat diucapkan seorang raja (pemerintah) terhadap rakyatnya, bahwa
apa yang telah diungkapkan dalam Aru itu akan dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh, baik untuk kepentingan Pemerintahan di masa damai maupun di
masa perang. Di masa-masa perdamaian, dalam tradisinya, pemerintahan Kerajaan
Gowa di masa silam, para pejabat kerajaan yang baru diangkat terlebih dahulu
mengucapkan Aru sebelum melaksanakan tugasnya dihadapan para raja.
Selain itu, pada masa peperangan, para
prajurit kerajaan Gowa yang akan berangkat ke medan perang terlebih dahulu
mengucapkan Aru di depan rajanya bahwa ia akan berjuang dengan sungguh-sungguh
untuk mempertahankan wilayah kerajaan, membela kebenaran dan tak akan mundur
selangkahpun sebelum musuh melangkahi mayatnya.
Tidak hanya sebatas itu, pada saat
sekarang Aru masih sering diperdengarkan dalam berbagai hal, antara lain pada
upacara-upacara adat atau penyambutan tamu-tamu agung. Upaya masyarakat untuk
melestarikan budaya tersebut juga bisa dilihat pada lomba-lomba kesenian untuk
kalangan pelajar yang memasukkan Angngaru atau Aru ini kedalam salah satu
kategori lomba. Kalangan mahasiswa pun tidak mau ketinggalan. Pada beberapa
kesempatan, seperti pada seminar kebudayaan atau pagelaran seni atau di acara-acara
formal, mereka kadang menghadirkan budaya Aru atau Angngaru ini.
Pada keterangan lain menyebutkan bahwa
Aru pada mulanya merupakan perjanjian (ikrar) antara raja dengan bate salapang
(pemerintahan otonom) yang di dalamnya terkandung batas-batas kekuasaan atau
kewenangan antara raja di satu pihak dengan Bate Salapang yang mewakili rakyat
di daerahnya di lain pihak sehingga dapat kita lihat bahwa Aru itu berkekuatan
sebagai undang-undang atau peraturan yang harus ditaati kedua pihak demi
terwujudnya penyelenggaraan yang demokratis.
Dari keterangan-keterangan tentang
sejarah Angngaru (ARU) tersebutlah yang kemudian menimbulkan asumsi bahwa
adanya komunikasi yang menjadikan Angngaru (ARU) ini sebagai proses budaya.
Dikatakan demikian, karena Angngaru (ARU) diwujudkan dalam bentuk bahasa.
Sedangkan bahasa adalah alat komunikasi.
Kemudian, pesan apa saja yang
terkandung dalam budaya Angngaru (ARU) ? Sesuai dengan pengertian Angngaru atau
Aru yang berarti sebagai pengucapan janji atau ikrar seorang ksatria kepada
rajanya atau pengucapan janji seorang pemimpin kepada rakyatnya sebelum menjalankan
tugas, maka di dalam budaya Angngaru atau Aru ini tentulah memiliki pesan yang
hendak disampaikan oleh si penyampai pesan atau komunikator kepada raja atau
rakyat sebagai komunikan. Susunan kalimatnya cukup ringkas menyerupai puisi
namun dari kalimat tersebut terkandung kesetiaan masyarakat terhadap kesatuan
wilayahnya yang diwakili oleh rakyatnya. Tidak hanya pada konteks situasi
budaya Angngaru atau Aru memiliki pesan, namun pada teknik menyampaikan atau
pada saat sekarang disebut dengan teknik memainkan pun budaya Angngaru atau Aru
ini juga memiliki pesan.
Teknik memainkan Aru sebagaimana
biasanya apabila akan menyampaikan suatu sumpah atau ikrar dihadapan seorang
raja, maka dipilihlah seseorang dari wakil masyarakat atau tubarani untuk mengucapkan sumpah setia (Aru). Orang yang terpilih
umumnya mempunyai vocal yang lantang, wajah yang seram, berani menantang wajah
sang raja. Yang terpilih ini juga merupakan suatu kehormatan berhadapan dengan
sang raja dan pembesar lainnya (sekarang berhadapan dengan para pejabat dan
petinggi lainnya), dan mendapat tempat yang penting di tengah-tengah
masyarakat.
Source: Google.com |
Maksud dipilihnya orang yang memiliki
vocal yang lantang dalam mengucapkan Aru ialah agar sumpah tersebut dapat
diterima dengan baik oleh penerima dan agar tujuan untuk memberikan dorongan
serta motivasi dapat terwujud. Sedangkan tujuan dipilihnya orang dengan wajah
yang seram menunjukkan adanya kesungguhan untuk menjaga wilayah kerajaan.
Sementara, maksud dipilihnya orang yang memiliki keberanian menantang wajah
sang raja ialah agar sang raja dapat melihat bahwa para ksatria tersebut
betul-betul memiliki semangat juang yang tinggi, kesetiaan serta bertanggung
jawab.
Pada saat tampil di hadapan sang raja,
pembawa Aru sudah harus menampakkan wajah ksatriaan, wajah loyalitas dan wajah
yang menunjukkan adanya dedikasi yang tinggi. Sikap badan harus tegap, sambil
mencabut keris (badik) sang pembawa Aru menyampaikan arunya dan mempermainkan
kerisnya sesuai dengan apa yang diucapkan.
Selain pembawaan yang demikian, ada
unsur lain yang didalamnya juga terdapat pesan yang hendak disampaikan pada
budaya Angngaru atau Aru ini, ialah ketika seseorang Angngaru (mengucapkan
janji) ia diiringi oleh bunyi-bunyian genderang, diiringi pula oleh pukulan
gong dan puik-puik (semacam bangsi yang terbuat dari kayu atau logam). Jadi,
dapatlah dikatakan bahwa Aru itu adalah sebagai alat yang penting untuk
membakar semangat perjuangan.
source: google.com |
Puik-puik yang Digunakan Bersama Genderang Sebagai Pengiring Musik Dalam Angngaru Source : google.com |
Adapun teks Aru yang sering diucapkan
oleh para ksatria disebut “Aru Tubaranina
Gowa” (Aru pemberani), Aru
Buleng-bulengna Mangasa (nama dari salah satu kelompok pejuang di Kabupaten
Gowa), Aru Tubarani Na Turayayya, Aru Bate Salapang Battu Ri Gowa. Berikut
isi dari syair-syair Aru tersebut.
1.
Aru
Tubaranina Gowa
Bismillahirrahmanirrahiim
Atta
…… Karaeng
Tabe’
kipammopporang mama’
Ridallekang
labbiritta
Risa’ri
karatuanta
Riempoang
mtinggita
Inakke
mine, Karaeng
Lambara
tatassa’la’na Gowa
Nakareppekangi
sallang, Karaeng
Pangngulu
ri barugayya
Nakatepokangi
sallang Karaeng
Pasorang
attangnga parang
Inai
– naimo sallang, Karaeng
Tamappattojengi
tojenga
Tamappiadaki
adaka
Kusalagai
sirinna
Kuisara
parallakkenna
Barangja
kunipatebba
Pangkulu
kunisoeyang
Ikau
anging, Karaeng
Naikambe
lekok kayu
Mirikko
anging
Namarunang
lekok kayu
Iya
sani madidiyaji nurunang
Ikau
je’ne, Karaeng
Naikambe
batang mammayu
Solongko
je’ne
Namammayu
batang kayu
Iya
sani sompo bonangpi kianyu
Ikau
jarung, Karaeng
Naikambe
bannang panjai
Ta’leko
jarung
Namminawang
bannang panjai
Iya
sani lambusuppi nakontu tojeng
Makkanamamaki
mae, Karaeng
Naikambe
mappa’jari
Manyyabbu
mamaki mae Karaeng
Naikambe
mappa’rupa
Punna
sallang takammaya
Aruku
ri dallekanta
Pangkai
jerakku
Tinra’bate
onjokku
Pauwang
ana’ri book
Pasang
ana’tanjari
Tumakkanayya’
Karaeng
Natanarupai
janjinna
Sikammajinne
aruku ri dallekanta
Dasi
na dasi nana tarima pa’ngaruku
Salama
….
Artinya
:
Bismillahirrahmanirrahiim
Sungguh
…… Karaeng (raja)
Maafkan
aku
Di
hari baanmu yang mulia
Di
sisi kebesaranmu
Di
tahta yang agung
Akulah
ini Karaeng
Satria
dari Tanah – Gowa
Akan
memecahkan kelak
Hulu
keris di arena
Akan
mematahkan kelak
Gagang
tombak di tengah gelanggang
Barang
siapa jua
Yang
tak membenarkan kebenaran
Yang
menentang adat budaya
Kuhancurkan
tempatnya berpijak
Kululuhkan
ruang geraknya
Aku
ibarat parang yang diletakkan
Kapak
yang diayungkan
Engkau
ibarat angin Karaeng
Aku
ini ibarat daun kayu
Berhembuslah
wahai angin
Kurela
gugur bersamamu
Hanya
sanya yang kuning kau gugurkan
Engkau
ibarat air, Karaeng
Aku
ini ibarat batang kayu
Mengalirlah
wahai air
Kurela
hanyut bersamamu
Hanya
sanya di air pasang kami hanyut
Engkau
ibarat jarum, Karaeng
Aku
ini ibarat benang kelindang
Menembuslah
wahai jarum
Kan
kuikut bekas jejakmu
Bersabdalah
wahai Karaeng
Aku
akan berbuat
Bertitahlah
wahai Karaeng
Aku
akan berbakti
Bilamana
kelak janji ini tidak kutepati
Sebagaimana
ikrarku di hadapanmu
Pasak
pusaraku
Coret
namaku dalam sejarah
Sampaikan
pada generasi mendatang
Pesankan
pada anak cucu
Apabila
hanya mampu berikrar, Karaeng
Tapi
tidak mampu berbuat bakti
Demikianlah
ikrarku dihadapanmu
Semoga
Tuhan Mengabulkannya
Amien
……
2.
Aru Bulaeng-bulaengna
Mangasa
Cini-cini mami sallang
Karaeng
Bulaeng-bulaengna Mangasa
Jangang tani pakkurua
Bukkuru tani kadoa
Iya iyannamo sallang
Karaeng
Rewa angngang na inakke
Tampa tetea ri ada
Kupolong tallu pokeku
attangnga parang
Kupolong appaki selekku
abbangkeng romang
Iya iyanamo sallang
Karaeng
Rewa angngang na inakke
Iya iyanamo sallang Karaeng
Barani yangngang na
make
Se’re lipa’ kuruwai
warakanna Parangtambung
Se’re lipa’ kuruwai
timboranna Bulussari
Nani cini buraknena
burakneya
Tanrinna tau lolowa
Dampenna anak raraya
Tena jail kawang tana
katto
Benteng tangnga tana
ambi
Tena todong bili tang
pantamai
Kamma tommama sallang
Karaeng
Laying-layang nionjong
attangnga parang
Nari’bakkang anak
ratite
Nalollong anak mariyang
Nampa kukana sallang
Karaeng
Inakke minne farina
buleng-bulengna Mangasa
Artinya :
Karaeng, kelak akan
terlihat
Buleng-bulengna Mangasa
Ayam jantan si penantan
Perkutut membuat tak
berkutik
Kareng, barang siapa
kelak
Lebih jantan dari kami
Yang tidak mengenal
adat
Akan kupatahkan
tombakku ditengah padang
Akan kupatahkan badikku
di tengah bukit
Karaeng, barang siapa
kelak
Lebih jantan dari kami
Selembar sarung kelak
berdua
Berlaga di dekat
Parangtambung
Bertarung dekat
Gunungsari
Kelak kelihatan siapa
yang lebih jantan
Kelak kelihatan siapa
yang lebih berani
Semua tiang akan
dipanjat
Semua bilik akan
dibongkar
Kami kelak seperti
layang-layang
Melayang ditengah
angkasa
Melayang dengan perahu
meriam
Kami adalah
buleng-bulengna Mangasa
3.
Aru
Tubaranina Na Turayayya
Karaengku,
pammopporang mama’ jai dudu
Tassampe
tompa sallang Karaeng
Ri
monconna Manggarupi, naerang anak mariyang
Nanampa
kukana Karaeng
Inakke
minne barambang bĂȘte-beteyya
Ganrang
batua Karaeng
Kukkulu’
sallo mateya
Kapoppo’
toa ammaku’ Karaeng
Kaparakang
toa nenekku’ Karaeng
Tena
butta tana onjo
Moncong
tinggi tana ambi
Romang
lantang tana soso
Passiringang
tana limbang
Bilik
tana pantamai
Punna
sa’ramo allowa
Tena
tau tana mu’musu’ atenna
Rilebba
lantang bangngiyya
Tena
tau tana lekkere’ atenna
Artinya:
Karaeng,
kelak akan tersangkut
Tersangkut
di bukit Manggarupi
Diterbangkan
oleh peluru anak meriam
Kami
akan menoleh
Kami
akan mengatakan
Kami
adalah ayam jantan dari timur
Drakula
tua ibuku
Drakula
tua nenekku
Semua
daerah telah didatangi
Semua
gunung telah didaki
Semua
hutan telah dimasuki
Semua
kolong telah dimasuki
Semua
bilik pasti dibongkar
Kalau
senja telah mendatang
Akan
kuisap darahnya
Selepas
tengah malam
Akan
kumakan hatinya
4.
Aru Bate
Salapang Battu Ri Gowa
Sombangku
Kipammopporang
mama’ jai dudu Karaeng
Iya-iyannamo
sallang ambunduki butta Gowa
Iya-iyannamo
sallang lambangkai Somba Opu
Iya-iyannamo
sallang lampatinompangi Barombong
Inakke
sallang angngagangi sibarambang
Laku
palangei sallang jarangku
Laku
palangei bombing talluna Mamampang
Kamma
tommama sallang mangiwang lanra’bbukiyya
Pantaranna
taka’ panjeng, laukanna Lae-lae
Napintujumpa
sallang ammanyu
Siallo
sallang ammanyu jarangku, rawanganna Samalona
Assulu’
tompi sallang ceraka ri ka’murunna
Naku
nampa ammoterang
Nampa
nacini bole-bolena Mamampang
Nampa
nicini passiki’na moncong-moncong
Nampa
nikana inakke minne atenna butta Gowa
Inakke
minne parru lolonna Barombong
Inakke
minne pallakiya ri Bise
Inakke
minne bura’ne tani gandaya
Inakke
minne barambang bete-beteyya
Artinya
:
Yang
Mulia
Karaeng,
maafkan beribu maaf
Barang
siapa kelak yang melawan kerajaan Gowa
Barang
siapa kelak yang meruntuhkan Somba Opu
Barang
siapa kelak yang menyerang Barombong
Kami
yang akan menghadapi dia
Kelak
akan bererang bersama kuda kami
Kami
akan berenang bersama bombang talluna Mamampang
Akan
seperti buaya yang menerkam mangsa
Kelak
akan hanyut sebanyak tujuh kali
Akan
hanyut dekat pulau Samalona
Kelak
akan keluar darah dari hidungnya
Kalau
sudah seperti itu, baru saya akan kembali
Akan
terlihat peemberani dari Barombong
Akan
terlihat pemberani dari perbukitan
Akan
digelar julukan hatinya Gowa
Kami
adalah pemberani dari Barombong
Kami
adalah pejantan dari tanah Bisei
Kami
adalah pemberani yang pantang mundur.
Teks Aru dalam Tulisan Lontara Makassar Source: dokumen pribadi |
Dari
keempat teks syair Aru tersebut dapat kita lihat pesan apa yang ingin
disampaikan oleh para penyampainya. Tampak jelas adanya sebuah ikrar, janji
atau sumpah setia para ksatria dan pemimpin yang betul-betul harus diemban.
Tidak hanya sekedar diucapkan, akan tetapi harus dipenuhi, terlebih karena Aru
tersebut memiliki nilai magis dan religius yang selalu mengingatkan betapa
pentingnya sebuah janji harus ditepati. Dari situ pula, kita bisa melihat
secara jelas adanya semangat juang yang tinggi dari para ksatria dan motivasi
serta dorongan yang kuat untuk mewujudkan cita-cita bagi para pemimpin.
Poin
inti dari tulisan saya ini ialah, apa fungsi komunikasi yang terdapat dalam
budaya Angngaru (ARU) ? Seorang pakar ilmu komunikasi, Harold D. Lasswell
mengemukakan fungsi-fungsi komunikasi :
1. Penjagaan
/ pengawasan lingkungan (surveillance of
the environment);
2. Menghubungkan
bagian-bagian yang terpisah dari masyarakat untuk menanggapi lingkungannya (correlation of the part of society in
responding to the environment); dan
3. Menurunkan
warisan sosial dari generasi ke generasi berikutnya (transmission of the social heritage).
Lebih
lanjut, ia mengemukakan bahwa ada tiga kelompok yang selama ini melaksanakakan
ketiga fungsi tersebut. Fungsi pertama,
dijalankan oleh para diplomat, atase dan koresponden luar negeri sebagai usaha
menjaga lingkungan. Fungsi kedua,
lebih diperankan oleh para editor, wartawan dan para juru bicara sebagai
penghubung respon internal. Sedangkan fungsi ketiga, adalah para pendidik di dalam pendidikan formal ataupun informal
karena terlibat mewariskan adat kebiasaan, nilai dari generasi ke genarasi.
Charles
R. Wright (1988) menambahkan satu fungsi yakni entertainment (hiburan) yang menunjukkan pada tindakan-tindakan
komunikatif yang terutama sekali dimaksudkan untuk menghibur dengan tidak
mengindahkan efek-efek instrumental yang dimilikinya.
Fungsi
pengawasan menunjukkan pengumpulan dan distribusi informasi baik di dalam
maupun di luar masyarakat tertentu. Tindakan menghubungkan bagian-bagian
meliputi interpretasi informasi mengenai lingkungan dan pemakainya untuk
berperilaku dalam reaksinya terhadap peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian
tadi. Adapun fungsi warisan sosial berfokus pada pengetahuan, nilai, dan norma
sosial.
Menelaah
fungsi-fungsi komunikasi tersebut, sudah dapat diidentifikasi bahwa pada budaya
Angngaru atau Aru terdapat fungsi komunikasi. Dari ketiga fungsi yang
dikemukakan oleh Harold D. Laswell, fungsi yang ketiga budaya Angngaru atau Aru
berperan. Dikatakan pada fungsi yang ketiga tersebut bahwa, komunikasi
berfungsi menurunkan warisan sosial dari generasi ke genarasi berikutnya. Dapat
diartikan bahwa pesan yang terkandung pada budaya Angngaru atau Aru juga
bertujuan untuk menurunkan warisan sosial dari generasi ke generasi. Warisan
sosial yang dimaksud terdapat pada budaya Angngaru atau Aru ialah :
1. Pengetahuan,
melalui budaya Angngaru atau Aru dapat memberikan pengetahuan bagi tiap-tiap
generasi tentang sejarah kerajaan Gowa.
2. Nilai,
melalui budaya Angngaru atau Aru dapat memberikan pemahaman mengenai nilai
kehidupan yakni nilai magis dan religius yang terkandung dalam budaya tersebut
yang harus selalu dijaga. Sebab, dari nilai-nilai tersebutlah maka tiap
generasi akan selalu memahami arti penting pengucapan sebuah ikrar, janji atau
sumpah setia.
3. Norma
sosial, melalui budaya Angngaru atau Aru ini dapat memberikan pemahaman kepada
tiap generasi seberapa pentingnya melaksanakan sebuah amanah. Sehingga muncul
rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diemban. Melalui fungsi ini pula para
pemimpin disadarkan bahwa ada aturan-aturan yang selalu mengikat, sehingga para
pemimpin mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
Sama
halnya dengan fungsi komunikasi yang ditambahkan oleh Charles R. Wright, yakni
komunikasi berfungsi sebagai hiburan. Fungsi komunikasi tersebut sangat jelas
dirasakan terdapat pada budaya Angngaru atau Aru pada saat sekarang. Dimana
budaya Angngaru atau Aru saat ini sering ditampilkan pada berbagai acara-acara
kesenian. Dikategorikannya Aru saat ini kedalam kesenian sastra Makassar telah
memberikan cermin bahwa budaya Angngaru atau Aru juga berfungsi sebagai
hiburan.
Daftar Pustaka:
Basang,
Djirong. Taman Sastra Makassar. Ujung
pandang: CV. ALAM Ujung Pandang, 1988
Limpo, Syahrul
Yasin, Adi Suryadi Culla, dan Zainuddin Tika. Profil Sejarah Budaya dan Pariwisata GOWA. Sungguminasa: INTISARI,
1995.
Nurudin.
Sistem Komunikasi Indonesia. Malang:
PT. Rajagrafindo Persada, 2003.
Tim
Media. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Media Centre.
0 komentar:
Posting Komentar