Hai blogger...
Kali ini saya kembali berbagi. Meskipun "sesuatu" yang saya bagikan ini hanyalah sebuah cerpen. Tapi, saya selalu berharap bahwa apa yang saya utarakan di dalamnya selalu bisa membawa perubahan... *kayak pidato yah* :D
Yup, cerpen dengan tema Inspirasi ini adalah karya baru saya yang kemarin sempat saya ikutkan dalam lomba
cerpen LIFE TO TELL yang diadakan oleh salah satu komunitas buku terbesar di Sulawesi Selatan yang bernama Macazzart Indie Book. Bagi teman-teman yang belum tahu atau yang sudah tahu tapi belum kenal secara jelas komunitas tersebut, silahkan klik link facebook resmi komunitas MIB .Yup, cerpen dengan tema Inspirasi ini adalah karya baru saya yang kemarin sempat saya ikutkan dalam lomba
Salah satu syarat lomba waktu itu ialah cerpen yang dibuat bertemakan cerpen yang inspiratif. Info lombanya pun pertama kali saya dapatkan dari seorang teman. Kebetulan, waktu tahu pertama kali tentang lomba ini deadlinenya masih lama. Jadilah kebiasaan buruk saya yang suka menunda-nunda itu muncul, dan cerpen ini baru saya buat setelah beberapa minggu mendapat info lomba tersebut. Belum lagi saya membutuhkan waktu untuk menentukan point of viewnya terlebih dahulu, dan itu membutuhkan waktu sekitar sehari. *pffftttt*
Cerpen selesai, naskah pun saya bawa langsung ke panitia lomba. Berselang satu bulan kemudian, dan akhirnya pengumuman tahap awal pun keluar. Daaaaannnn....jreeeenggg, naskah cerpen saya berhasil masuk dalam kategori 15 cerpen terbaik dari 32 peserta yang mendaftar. Dan, limabelas cerpen terbaik tersebut akan diterbitkan menjadi satu buku kumpulan cerpen. Yeaaahhhh...huhuiii...
Sekarang, saatnya menunggu pengumuman selanjutnya. Pengumuman untuk menentukan cerpen yang berhasil menjadi juara 1,2 dan 3.
Sekarang, saatnya menunggu pengumuman selanjutnya. Pengumuman untuk menentukan cerpen yang berhasil menjadi juara 1,2 dan 3.
Well, ini dia cerpennya...
Selamat Membaca dan Semoga Memberikan Inspirasi :)
“107,1
Fm First Radio, itu tadi satu lagu dari Glee Cast dengan don’t stop believing-nya
yang sudah mengantarkan kita ke pukul satu siang ini. Itu tandanya Khanza harus
pamit nih dari ruang dengar Anda….”
“Penyiarnya
namanya Khanza ? Kok mirip banget yah sama suaranya si kecil ? Ah, feeling saya
aja kali. Mana mungkin dia ada di Makassar dan berceloteh kayak tadi. Efek
kangen kayaknya nih. Apa kabar anak itu yah ?” Ucap Fika dalam hati sambil
mematikan tape di mobilnya.
Baru semenit
ia memarkir mobil di pelataran fakultas, bahkan belum sempat membuka pintu
mobil, seorang cewek mengetuk kaca jendela mobil Fika dan berhasil membuat
pikirannya tentang penyiar tadi menjadi sirna seketika. Bukan kaget karena
ketukannya, tapi kaget setelah melihat mulut cewek itu komat-kamit karena
memberi isyarat bahwa kuliah sudah dimulai. Maklum saja, kuliah Fika hari ini
dosennya termasuk kategori dosen killer.
Terlambat lima menit saja sudah tidak diperbolehkan mengikuti perkuliahan.
Dengan
tergesa-gesa, Fika meraih tas di jok sebelah tempat duduknya dan segera turun
dari mobil. Hanya berselang tiga menit dia sudah duduk manis dikelas. Saking
lincahnya dia.
***
Di tempat terpisah…
“Makin
keren aja nih nyiarnya.”
“Wah…gak
ada recehan nih pak. Hehe…”
“Eh, saya
serius Khanza. Siaranmu makin hari makin OK loh. Tingkatkan yah ! Karena
sebentar lagi program Talk Show terbaru
kita akan dipegang sama kamu.”
“Siap
pak, insya Allah. Mohon bimbingannya saja pak.” Jawab Khanza yang saat itu baru
saja keluar dari ruang siaran.
Usai
percakapan, mereka berdua berpisah tepat di depan pintu ruangan kerja program director. Sementera Khanza terus
berlalu menuju pantry room yang
sering ia gunakan untuk saling menyapa dengan teman-temannya sesama kru di First Radio tempatnya bekerja.
Tidak ada
siapa-siapa di ruangan itu. Ditemani segelas teh hangat yang ia buat, ia hanya
sibuk mengotak atik handphone-nya.
Hari ini,
Khanza memang berencana ingin menghabiskan waktunya di studio. Berhubung, tidak
ada kepentingan lain yang harus ia kerjakan. Tapi, terlalu lama sendiri di
ruang itu membuatnya bosan. Terbersit di pikirannya untuk mengirim sebuah pesan
singkat yang ia tujukan kepada salah seorang sahabatnya di SMA dulu.
“Hai
chubby…
Apa kabar
kamu ? Kangen nih !
By:
Khanza.”
SMS
terkirim dan handphone Fika pun
berdering.
“Panjang
umur banget nih anak, baru aja tadi dia melintas di otak, sekarang SMS nya
sudah nongkrong di inbox.” Ucap Fika dalam hati setelah membaca pesan singkat
dari sahabatnya Khanza.
Ia pun
membalas pesan tersebut.
“Hai juga
kecil…
Kabar
baik kok. Kamu gimana ? Kangen juga nih.
Eh,
tadi pas saya nyalain radio, saya dengar penyiar yang suaranya itu mirip banget
sama kamu. Kirain itu beneran kamu. Saking rindunya nih !”
Khanza yang
membaca balasan pesan singkat dari Fika hanya mampu tersenyum kecil. Namun, ada
sedikit rasa bersalah yang mengganggu hatinya setelah itu. Ia merasa bersalah,
karena selama beberapa bulan ini ia tidak pernah menghubungi Fika dan tidak
pernah memberi tahu sahabatnya itu tentang apa yang terjadi padanya selama satu
tahun belakangan ini.
“Wah,
suara saya pasaran yah ? Atau suara penyiarnya kali yah yang pasaran ? Hehe
Ketemuan
yuk ! Saya lagi ada di Makassar nih.
Kamu
gak sibuk kan ? Sore ini, jam 4 kita ketemu di tempat biasa. Banyak yang mau
saya ceritakan.”
Fika yang
masih mengikuti perkuliahan tiba-tiba diliputi rasa senang sekaligus kaget.
Senang, karena ia akan bertemu dengan sahabatnya yang sudah hampir dua tahun
tidak pernah ia jumpai. Dan kaget, karena ternyata sahabatnya itu ada di
Makassar.
“Ok
kecil…
Jam 4
teng saya sudah disana.”
Percakapan
dua orang sahabat itu usai sesaat setelah Pak Nizwar mengakhiri perkuliahan di
kelas Fika.
Tanpa
basa basi lagi, Fika bergegas menuju mobil dan segera menuju Café tempat ia dan
Khanza sering menghabiskan waktu sebelum berpisah dua tahun yang lalu.
Ternyata,
pertemuan dengan sahabatnya kali ini tidak bisa membuatnya terlambat, lain lagi
dengan urusan kuliah. Fika lah ratu terlambat di kelasnya.
Kurang
dari lima menit, Khanza akhirnya datang.
“Hei
chubby !”
Khanza
menyapa dan hanya dibalas dengan sebuah pelukan dari Fika. Ya, pelukan rindu.
Dua tahun bukan waktu yang singkat bagi mereka.
Sambil
melepas rindu, keduanya saling bercerita tentang kegiatan mereka masing-masing.
Sore itu, giliran Fika yang pertama bercerita. Khanza begitu antusias
mendengarkan sahabatnya itu. Sampai ia lupa dengan tujuannya bertemu dengan
Fika, yaitu untuk menceritakan perjalanan hidup Khanza yang sempat membuatnya
kehilangan semangat.
“Eh,
ngomong-ngomong kok kamu bisa ada di Makassar ? Libur ?“
“Gak Fik,
saya di drop out dari kampus.” Jawab
Khanza
“What ? Gak salah dengar saya ? Ah, baru
ketemu udah ngajak bercanda, gimana sih ?”
“Siapa
yang bercanda Fik, saya serius.” Jawab khanza dengan mimik yang cukup
meyakinkan.
Fika
sungguh tidak percaya dengan apa yang baru dikatakan Khanza. Walaupun Khanza
betul-betul serius, tetap saja Fika sulit percaya.
Fika
mengenal Khanza sudah lama, dia sangat tahu apapun tentang sahabatnya itu.
Khanza yang ia kenal adalah Khanza yang tidak pernah gagal dalam dunia
pendidikannya. Ia terkenal sebagai siswa yang selalu mendapat predikat juara
umum di sekolahnya dulu. Dan setelah lulus pun, ia langsung dinyatakan bebas
tes masuk di salah satu perguruan tinggi ikatan dinas di Jakarta. Perguruan
tinggi yang membebaskan pungutan biaya sepeser pun bagi siswanya, bahkan siswa
diberi tunjangan setiap bulan. Setelah lulus pun langsung jadi Pegawai Negeri
Sipil.
“Kuliah
di Jakarta, di kampus yang saya idam-idamkan dengan segala jaminannya itu
ternyata berat untuk saya jalani. Semester awal sih saya mampu melewati standar
nilai yang ditetapkan sebagai syarat untuk tidak di drop out. Tapi, setelah memasuki tahun kedua, saya jatuh sakit dan
otomatis, nilai-nilai saya anjlok.”
Dihadapan
Khanza, Fika begitu antusias. Lebih antusias daripada mendengarkan perkuliahan
di kelas.
Khanza
menghela napas sejenak, dan melanjutkan ceritanya.
“Saya
sempat down banget. Malah, saya gak
berani ngasih tahu orang tua. Tapi, lama-kelamaan mereka akhirnya tahu juga.”
“Tante
sama om bilang apa waktu itu ?”
“Hmm..bersyukur,
mereka mengerti keadaan saya. Malah, mereka yang membantu saya untuk bangkit
dan memberi saya semangat untuk melanjutkan kuliah di Makassar.”
“Bisa-bisanya
yah kamu gak ngasih tahu tentang hal ini kesaya.”
“Bukannya
gak mau ngasih tahu, tapi waktu itu saya betul-betul terpukul dan merasa malu.
Hampir sebulan saya gak keluar rumah setelahnya.”
“Trus,
sekarang kamu kuliah dimana ?”
“Di
Universitas Fajar. Dan tahu tidak, saya ngambil jurusan Ilmu Komunikasi.
Jurusan yang tidak pernah ada di pikiran saya.”
“Ilmu
Komunikasi ? Cie..calon penyiar dong.”
“Nah, itu
dia hikmahnya. Setelah saya kuliah beberapa semester disini, seorang dosen
menawari saya pekerjaan sebagai seorang penyiar. Kuliah saya pun terasa begitu
menyatu dengan dunia saya. Tidak terasa beban sama sekali. Dan sangat terasa
perbedaannya dibanding ketika saya di Jakarta dulu.”
“Ah,
serius kamu cil ? Radio apa namanya ?”
“First FM.”
Jawab Khanza dengan wajah cerianya.
Spontan,
Fika berdiri dan menepuk pundak Khanza sebagai bentuk kekesalannya. Ia kesal,
karena ternyata suara penyiar yang ia dengar tadi siang di mobilnya adalah
suara sahabatnya sendiri.
Khanza
kembali bercerita.
“Memang
betul apa yang dikatakan banyak orang Fik, bahwa kadang apa yang kita inginkan
tidak sejalan dengan apa yang ditakdirkan Tuhan untuk kita. Saya kehilangan
tunjangan ikatan dinas, tapi malah dapat ganti yang lebih dengan jerih payah
sendiri. Jadinya, saya sudah tidak pernah lagi minta duit sama orang tua.”
“Iya,
emang betul. Saya saja yang dulunya mati-matian berusaha untuk masuk jurusan
pendidikan, eh malah dikasih jurusan farmasi. Hikmahnya, sekarang saya ditawari
untuk jadi asisten laboran di kampus.” Ujar Fika.
Tidak
terasa, dua jam berlalu dan itu tidak cukup untuk melepaskan rindu mereka.
Akhirnya, kebersamaan mereka berlanjut di kediaman Khanza.
Tampak di raut wajah Fika sebuah
kekaguman luar biasa terhadap sahabatnya Khanza yang tidak pernah berhenti
berusaha meski telah jatuh. Ia kagum terhadap sahabatnya yang selalu bisa
menularkan semangat bagi dirinya. Begitupun Khanza yang telah yakin bahwa Tuhan
tidak pernah memberi apa yang diinginkan hambaNya tapi Tuhan memberi apa yang dibutuhkan hambaNya.
0 komentar:
Posting Komentar