Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Blogger Template From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selamat Membaca dan Terima Kasih atas Kunjungannya

Senin, 28 Januari 2013

Cerpen : Inginku, Bukan KehendakNya


Hai blogger...
Kali ini saya kembali berbagi. Meskipun "sesuatu" yang saya bagikan ini hanyalah sebuah cerpen. Tapi, saya selalu berharap bahwa apa yang saya utarakan di dalamnya selalu bisa membawa perubahan... *kayak pidato yah* :D
Yup, cerpen dengan tema Inspirasi ini adalah karya baru saya yang kemarin sempat saya ikutkan dalam lomba
cerpen LIFE TO TELL yang diadakan oleh salah satu komunitas buku terbesar di Sulawesi Selatan yang bernama Macazzart Indie Book. Bagi teman-teman yang belum tahu atau yang sudah tahu tapi belum kenal secara jelas komunitas tersebut, silahkan klik link facebook resmi komunitas MIB .
Salah satu syarat lomba waktu itu ialah cerpen yang dibuat bertemakan cerpen yang inspiratif. Info lombanya pun pertama kali saya dapatkan dari seorang teman. Kebetulan, waktu tahu pertama kali tentang lomba ini deadlinenya masih lama. Jadilah kebiasaan buruk saya yang suka menunda-nunda itu muncul, dan cerpen ini baru saya buat setelah beberapa minggu mendapat info lomba tersebut. Belum lagi saya membutuhkan waktu untuk menentukan point of viewnya terlebih dahulu, dan itu membutuhkan waktu sekitar sehari. *pffftttt*
Cerpen selesai, naskah pun saya bawa langsung ke panitia lomba. Berselang satu bulan kemudian, dan akhirnya pengumuman tahap awal pun keluar. Daaaaannnn....jreeeenggg, naskah cerpen saya berhasil masuk dalam kategori 15 cerpen terbaik dari 32 peserta yang mendaftar. Dan, limabelas cerpen terbaik tersebut akan diterbitkan menjadi satu buku kumpulan cerpen. Yeaaahhhh...huhuiii...
Sekarang, saatnya menunggu pengumuman selanjutnya. Pengumuman untuk menentukan cerpen yang berhasil menjadi juara 1,2 dan 3. 
Well, ini dia cerpennya...
Selamat Membaca dan Semoga Memberikan Inspirasi :)



“107,1 Fm First Radio, itu tadi satu lagu dari Glee Cast dengan don’t stop believing-nya yang sudah mengantarkan kita ke pukul satu siang ini. Itu tandanya Khanza harus pamit nih dari ruang dengar Anda….”
“Penyiarnya namanya Khanza ? Kok mirip banget yah sama suaranya si kecil ? Ah, feeling saya aja kali. Mana mungkin dia ada di Makassar dan berceloteh kayak tadi. Efek kangen kayaknya nih. Apa kabar anak itu yah ?” Ucap Fika dalam hati sambil mematikan tape di mobilnya.
Baru semenit ia memarkir mobil di pelataran fakultas, bahkan belum sempat membuka pintu mobil, seorang cewek mengetuk kaca jendela mobil Fika dan berhasil membuat pikirannya tentang penyiar tadi menjadi sirna seketika. Bukan kaget karena ketukannya, tapi kaget setelah melihat mulut cewek itu komat-kamit karena memberi isyarat bahwa kuliah sudah dimulai. Maklum saja, kuliah Fika hari ini dosennya termasuk kategori dosen killer. Terlambat lima menit saja sudah tidak diperbolehkan mengikuti perkuliahan.
Dengan tergesa-gesa, Fika meraih tas di jok sebelah tempat duduknya dan segera turun dari mobil. Hanya berselang tiga menit dia sudah duduk manis dikelas. Saking lincahnya dia.
***
Di tempat terpisah…
“Makin keren aja nih nyiarnya.”
“Wah…gak ada recehan nih pak. Hehe…”
“Eh, saya serius Khanza. Siaranmu makin hari makin OK loh. Tingkatkan yah ! Karena sebentar lagi program Talk Show terbaru kita akan dipegang sama kamu.”
“Siap pak, insya Allah. Mohon bimbingannya saja pak.” Jawab Khanza yang saat itu baru saja keluar dari ruang siaran.
Usai percakapan, mereka berdua berpisah tepat di depan pintu ruangan kerja program director. Sementera Khanza terus berlalu menuju pantry room yang sering ia gunakan untuk saling menyapa dengan teman-temannya sesama kru di First Radio tempatnya bekerja.
Tidak ada siapa-siapa di ruangan itu. Ditemani segelas teh hangat yang ia buat, ia hanya sibuk mengotak atik handphone-nya.
Hari ini, Khanza memang berencana ingin menghabiskan waktunya di studio. Berhubung, tidak ada kepentingan lain yang harus ia kerjakan. Tapi, terlalu lama sendiri di ruang itu membuatnya bosan. Terbersit di pikirannya untuk mengirim sebuah pesan singkat yang ia tujukan kepada salah seorang sahabatnya di SMA dulu.
“Hai chubby…
Apa kabar kamu ? Kangen nih !
By: Khanza.”
SMS terkirim dan handphone Fika pun berdering.
“Panjang umur banget nih anak, baru aja tadi dia melintas di otak, sekarang SMS nya sudah nongkrong di inbox.” Ucap Fika dalam hati setelah membaca pesan singkat dari sahabatnya Khanza.
Ia pun membalas pesan tersebut.
“Hai juga kecil…
Kabar baik kok. Kamu gimana ? Kangen juga nih.
Eh, tadi pas saya nyalain radio, saya dengar penyiar yang suaranya itu mirip banget sama kamu. Kirain itu beneran kamu. Saking rindunya nih !”
Khanza yang membaca balasan pesan singkat dari Fika hanya mampu tersenyum kecil. Namun, ada sedikit rasa bersalah yang mengganggu hatinya setelah itu. Ia merasa bersalah, karena selama beberapa bulan ini ia tidak pernah menghubungi Fika dan tidak pernah memberi tahu sahabatnya itu tentang apa yang terjadi padanya selama satu tahun belakangan ini.
“Wah, suara saya pasaran yah ? Atau suara penyiarnya kali yah yang pasaran ? Hehe
Ketemuan yuk ! Saya lagi ada di Makassar nih.
Kamu gak sibuk kan ? Sore ini, jam 4 kita ketemu di tempat biasa. Banyak yang mau saya ceritakan.”
Fika yang masih mengikuti perkuliahan tiba-tiba diliputi rasa senang sekaligus kaget. Senang, karena ia akan bertemu dengan sahabatnya yang sudah hampir dua tahun tidak pernah ia jumpai. Dan kaget, karena ternyata sahabatnya itu ada di Makassar.
“Ok kecil…
Jam 4 teng saya sudah disana.”
Percakapan dua orang sahabat itu usai sesaat setelah Pak Nizwar mengakhiri perkuliahan di kelas Fika.
Tanpa basa basi lagi, Fika bergegas menuju mobil dan segera menuju Café tempat ia dan Khanza sering menghabiskan waktu sebelum berpisah dua tahun yang lalu.
Ternyata, pertemuan dengan sahabatnya kali ini tidak bisa membuatnya terlambat, lain lagi dengan urusan kuliah. Fika lah ratu terlambat di kelasnya.
Kurang dari lima menit, Khanza akhirnya datang.
“Hei chubby !”
Khanza menyapa dan hanya dibalas dengan sebuah pelukan dari Fika. Ya, pelukan rindu. Dua tahun bukan waktu yang singkat bagi mereka.
Sambil melepas rindu, keduanya saling bercerita tentang kegiatan mereka masing-masing. Sore itu, giliran Fika yang pertama bercerita. Khanza begitu antusias mendengarkan sahabatnya itu. Sampai ia lupa dengan tujuannya bertemu dengan Fika, yaitu untuk menceritakan perjalanan hidup Khanza yang sempat membuatnya kehilangan semangat.
“Eh, ngomong-ngomong kok kamu bisa ada di Makassar ? Libur ?“
“Gak Fik, saya di drop out dari kampus.” Jawab Khanza
What ? Gak salah dengar saya ? Ah, baru ketemu udah ngajak bercanda, gimana sih ?”
“Siapa yang bercanda Fik, saya serius.” Jawab khanza dengan mimik yang cukup meyakinkan.
Fika sungguh tidak percaya dengan apa yang baru dikatakan Khanza. Walaupun Khanza betul-betul serius, tetap saja Fika sulit percaya.
Fika mengenal Khanza sudah lama, dia sangat tahu apapun tentang sahabatnya itu. Khanza yang ia kenal adalah Khanza yang tidak pernah gagal dalam dunia pendidikannya. Ia terkenal sebagai siswa yang selalu mendapat predikat juara umum di sekolahnya dulu. Dan setelah lulus pun, ia langsung dinyatakan bebas tes masuk di salah satu perguruan tinggi ikatan dinas di Jakarta. Perguruan tinggi yang membebaskan pungutan biaya sepeser pun bagi siswanya, bahkan siswa diberi tunjangan setiap bulan. Setelah lulus pun langsung jadi Pegawai Negeri Sipil.
“Kuliah di Jakarta, di kampus yang saya idam-idamkan dengan segala jaminannya itu ternyata berat untuk saya jalani. Semester awal sih saya mampu melewati standar nilai yang ditetapkan sebagai syarat untuk tidak di drop out. Tapi, setelah memasuki tahun kedua, saya jatuh sakit dan otomatis, nilai-nilai saya anjlok.”
Dihadapan Khanza, Fika begitu antusias. Lebih antusias daripada mendengarkan perkuliahan di kelas.
Khanza menghela napas sejenak, dan melanjutkan ceritanya.
“Saya sempat down banget. Malah, saya gak berani ngasih tahu orang tua. Tapi, lama-kelamaan mereka akhirnya tahu juga.”
“Tante sama om bilang apa waktu itu ?”
“Hmm..bersyukur, mereka mengerti keadaan saya. Malah, mereka yang membantu saya untuk bangkit dan memberi saya semangat untuk melanjutkan kuliah di Makassar.”
“Bisa-bisanya yah kamu gak ngasih tahu tentang hal ini kesaya.”
“Bukannya gak mau ngasih tahu, tapi waktu itu saya betul-betul terpukul dan merasa malu. Hampir sebulan saya gak keluar rumah setelahnya.”
“Trus, sekarang kamu kuliah dimana ?”
“Di Universitas Fajar. Dan tahu tidak, saya ngambil jurusan Ilmu Komunikasi. Jurusan yang tidak pernah ada di pikiran saya.”
“Ilmu Komunikasi ? Cie..calon penyiar dong.”
“Nah, itu dia hikmahnya. Setelah saya kuliah beberapa semester disini, seorang dosen menawari saya pekerjaan sebagai seorang penyiar. Kuliah saya pun terasa begitu menyatu dengan dunia saya. Tidak terasa beban sama sekali. Dan sangat terasa perbedaannya dibanding ketika saya di Jakarta dulu.”
“Ah, serius kamu cil ? Radio apa namanya ?”
“First FM.” Jawab Khanza dengan wajah cerianya.
Spontan, Fika berdiri dan menepuk pundak Khanza sebagai bentuk kekesalannya. Ia kesal, karena ternyata suara penyiar yang ia dengar tadi siang di mobilnya adalah suara sahabatnya sendiri.
Khanza kembali bercerita.
“Memang betul apa yang dikatakan banyak orang Fik, bahwa kadang apa yang kita inginkan tidak sejalan dengan apa yang ditakdirkan Tuhan untuk kita. Saya kehilangan tunjangan ikatan dinas, tapi malah dapat ganti yang lebih dengan jerih payah sendiri. Jadinya, saya sudah tidak pernah lagi minta duit sama orang tua.”
“Iya, emang betul. Saya saja yang dulunya mati-matian berusaha untuk masuk jurusan pendidikan, eh malah dikasih jurusan farmasi. Hikmahnya, sekarang saya ditawari untuk jadi asisten laboran di kampus.” Ujar Fika.
Tidak terasa, dua jam berlalu dan itu tidak cukup untuk melepaskan rindu mereka. Akhirnya, kebersamaan mereka berlanjut di kediaman Khanza.
Tampak di raut wajah Fika sebuah kekaguman luar biasa terhadap sahabatnya Khanza yang tidak pernah berhenti berusaha meski telah jatuh. Ia kagum terhadap sahabatnya yang selalu bisa menularkan semangat bagi dirinya. Begitupun Khanza yang telah yakin bahwa Tuhan tidak pernah memberi apa yang diinginkan hambaNya tapi Tuhan memberi apa yang dibutuhkan hambaNya. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Please Smile...!!!

Segalanya akan indah jika kita menyadari bahwa tak ada di dunia ini yang sia-sia