“Apa kabarmu hari ini
?” Aku tiba-tiba muncul dibelakangmu yang kuperhatikan tengah sibuk melipat
sajadah usai shalat duhur.
Pertanyaanku yang sama
tiba-tibanya dengan kehadiranku di sisimu kali ini ternyata betul membuatmu
kaget, dan itu tampak sekali dari raut wajahmu. Sejak kita bertemu kembali
pertama kali di tempat ini sebulan yang lalu, aku sepertinya selalu membuatmu
kaget. Sama kagetnya aku ketika bertemu kamu ditempat ini. Tempat yang tidak
pernah terbayangkan olehku akan dihuni olehmu.
“Bukan. Penelitianku
sudah selesai seminggu yang lalu.”
“Oh yah ? Lalu, untuk
apa kamu kesini ?” Pertanyaanmu kali ini terkesan sinis kepadaku. Entah, apakah
kamu benar-benar sinis, malu ataukah kedatanganku yang tidak tepat kali ini.
“Sekadar jalan-jalan
saja. Apa kamu tidak suka dengan kedatanganku ?” pertanyaanku barusan tampaknya
memaksamu untuk melemparkan senyum kepadaku. Ya, senyuman sebagai penawar atas
pertanyaanmu yang kuanggap sinis tadi.
Masih dengan
senyumanmu, kamu seraya berjalan ke arahku. Semakin dekat. Hingga akhirnya kita
kembali duduk berdua di teras masjid. Persis ketika pertama kali kita bertemu
kembali di tempat ini sebulan yang lalu. Meski tak jarang pula kudapati sosokmu
di balik jeruji besi, bilik barumu kini.
“Jadi, penelitianmu
sudah selesai ?” Tanyamu kembali. Entah untuk memastikan tujuan kedatanganku
kali ini atau hanya sekadar basa-basi.
Siang itu kita hanya
berbincang sebentar. Meski demikian, aku tetap saja kagum terhadapmu. Untuk hal
yang satu ini, kamu memang baru memilikinya dan inilah alasan kenapa aku selalu
memiliki keinginan untuk datang berkunjung. Padahal awalnya ketika pembagian
tugas penelitian aku bahkan ingin menolak ditempatkan di lembaga pemasyarakatan
ini.
Setiap minggu selalu
kusempatkan diriku untuk mengunjungimu. Berbagi cerita. Dan tak terasa kini
telah memasuki bulan kelima saya selalu berkunjung kesini. Tapi, tidak lagi
ditempat kita sering bertemu. Itu karena aksesku sekarang sudah terbatas. Jika
dulu saya diperbolehkan untuk masuk hingga di depan bilikmu, kali ini kita
hanya bisa bertemu diruang khusus untuk para pengunjung narapidana. Jika dulu
saya datang kesini untuk meneliti, kali ini saya datang khusus untuk
mengunjungimu.
Selalu saja ada yang
menggelitik hatiku untuk bertemu denganmu. Aku selalu saja merasa memiliki
semangat yang baru ketika percakapan kita usai.
Persis pada kunjunganku
hari ini, seorang penjaga lapas tiba-tiba menghentikan langkahku ketika jam
kunjunganku habis dan aku harus segera meninggalkan tempat ini.
“Maaf, Mbak ini teman
dekatnya Adit yah ?” Tanya penjaga lapas yang kutahu dari papan nama dibajunya
bernama Djoko.
“Bukan pak, kami hanya
sebatas teman. Ada apa yah pak ?”
“O… begitu yah. Kalau
tidak salah mbak kan yang dulu pernah meneliti disini ?”
“Betul pak,” jawabku
dengan benak yang masih penuh dengan tanda tanya. Ada apa saya ditanya seperti
ini.
Melihat raut wajahku
yang sedikit kebingungan, Pak Djoko akhirnya mengajakku untuk
berbincang-bincang diruangannya. Percakapan kami pun berlanjut.
“Jadi, gimana hasil
penelitiannya kemarin, Mbak ?” Pak Djoko kembali memulai percakapan kami.
“Alhamdulillah,
diapresiasi dengan baik oleh dosen pembimbing, Pak. Oh iya, ngomong-ngomong,
tadi kenapa Bapak bertanya tentang Adit ?” Tanyaku yang masih diliputi rasa
penasaran.
“Yah. Sepertinya, Mbak
penasaran sekali yah ?”
“Baiklah, memang itu tujuan saya memanggil
Mbak, karena saya perhatikan Mbak cukup sering kesini mengunjungi Adit. Tahu
tidak, cuma Mbak yang sering kesini mengunjungi Adit. Bahkan keluarganya, tak
seorang pun yang pernah terlihat mengunjunginya.” Pak Djoko mengakhiri
penuturannya.
Aku pun sontak kaget
mendengar penuturan penjaga lapas ini. Aku seakan tidak percaya. Seorang Adit
yang setahuku memiliki keluarga besar, mana mungkin tidak pernah dikunjungi
oleh salah seorang keluarganya.
“Ah, yang benar, Pak ?”
“Benar, Mbak. Saya akui
bahwa Adit itu sosok pemuda yang tangguh. Jarang saya melihat mantan narapidana
yang umurnya masih muda seperti dia memiliki kepribadian yang seperti itu,”
jawab Pak Djoko dengan mimik wajah yang menampakkan kekaguman.
“Apa maksud Bapak ? Kok,
Bapak bilang Adit mantan narapidana ? Sementara sekarang ia masih di dalam
lapas,” aku semakin tidak mengerti alur percakapanku dengan Pak Djoko.
Pak Djoko menarik napas
panjang seolah-olah ia akan bercerita panjang tentang Adit.
“Ya, Adit sekarang
sudah berstatus mantan narapidana, Mbak. Setelah ia dinyatakan bebas setahun
yang lalu. Ia malah tidak mau keluar dari lapas dan memohon pihak lapas untuk
mengizinkannya tetap tinggal disini.”
“Alasannya apa, Pak ?”
“Adit bilang kalau ia
lebih baik tinggal disini, daripada ia keluar dan tidak diterima di
keluarganya. Kami pihak lapas pun sudah mencoba meyakinkan Adit untuk kembali
menemukan cita-citanya diluar. Tapi, ia ngotot untuk terus tinggal di lapas
sambil membantu napi yang lain belajar mengaji,” jawab Pak Djoko
“Katanya, ia lebih
berguna jika tetap tinggal disini,” lanjutnya.
Tidak terasa, aku dan
Pak Djoko terlibat percakapan yang cukup panjang. Suara adzan dari menara
masjid lapas yang akhirnya menghentikan percakapan kami. Belum lagi suara
muadzin yang begitu merdu menggaung ke pelosok lapas.
“Itu pasti suara Adit,”
gumamku dalam hati.
Aku dan Pak Djoko pun
akhirnya sepakat untuk melanjutkan percakapan kami pada kesempatan lain. Meski,
benakku masih dipenuhi tanda tanya, aku pun harus bergegas pulang.
Dalam perjalanan
pulang, pikiranku terus menerawang sosok Adit. Aku masih belum mengerti,
mengapa ia sampai tidak mau mencoba menemukan cita-citanya diluar. Aku masih
ingat semangatnya ketika SMA dulu ia sangat ingin melanjutkan kuliah di jurusan
teknik arsitektur. Sewaktu SMA, Adit memang terkenal sebagai salah seorang
siswa yang pandai, meski agak sedikit sombong karena ia adalah anak bungsu dari
keturunan keluarga yang cukup terpandang.
Keadaan yang sama
sekali tak pernah terpikirkan, ternyata bisa juga terjadi. Jika dulu
orang-orang menganggapmu sempurna, kali ini tidak lagi. Kamu memang bukan lagi kebanggaan
keluargamu, tapi kini kamu menjadi kebanggaan orang-orang yang ternyata
betul-betul membutuhkanmu. Termasuk saya yang kini betul-betul kagum
terhadapmu. Lagi-lagi saya kagum, dan rasanya saya sudah tidak sabar untuk
mengunjungimu kembali.
Masih tentang kamu,
tiba-tiba aku teringat percakapan kita beberapa bulan yang lalu, ketika kita
bertemu pertama kali di lapas.
Ketika itu hari pertama
penelitianku, aku melintas didepan deretan bilik narapidana dengan ditemani
seorang penjaga lapas. Disela-sela perjalananku, tiba-tiba suaramu yang tengah melantunkan
ayat suci Al-Quran menghentikan langkahku didepan bilikmu. Kehadiranku saat
itu, ternyata telah mengganggumu beserta dua orang temanmu di dalam bilik.
Sadar ada orang yang tengah memperhatikanmu, kamu pun berbalik. Kita saling
menatap. Sontak saya kaget.
“Adit ?” Ucapku.
Kamu berdiri sambil
memberi salam kepadaku. Kamu terlihat kikuk dan berusaha mengontrol diri. Meski
begitu, kamu terlihat sama kagetnya denganku. Kamu pun akhirnya memberi isyarat
kepada penjaga lapas yang masih setia menemaniku untuk membuka gembok jejeran
besi yang menghalangi kita. Waktu itu, saya masih tidak mengerti, mengapa kamu
begitu gampangnya keluar masuk bilik sesukamu. Dan baru hari ini saya mengerti
akan hal itu.
“Bagaimana ceritanya
kamu bisa ada disini ?”
“Panjang ceritanya.
Takutnya kalau aku ceritakan, kamu malah tidak percaya,” penuturanmu yang
terkesan bercanda ketika itu membuatku betul-betul merasa bahwa dihadapanku itu
bukanlah kamu. Kamu yang kukenal tidak humoris, ternyata kini telah betul-betul
berubah.
Kamu seakan sudah tahu
akan kemana arah percakapan kita, karena tanpa menunggu serangan pertanyaan
selanjutnya dariku, kamu lantas berujar.
“Sudah hampir dia tahun
aku disini. Aku terlibat aksi anarkis di kampus dua tahun yang lalu, aku lantas
di drop out dari kampus oleh om ku
yang tidak lain adalah rektor. Dunia ternyata bisa adil juga yah untuk orang
sepertiku,” katamu.
Aku yang masih tidak
percaya, hanya bisa diam dan terus memperhatikan setiap perubahan cara
bicaramu. Kamu betul-betul jauh berbeda.
“Yah, waktu itu kuliah
umum untuk para mahasiswa baru sedang berlangsung di kampus. Aku bersama
sepuluh orang teman lainnya datang dan mencoba menghentikan kegiatan kampus.
Karena tidak mendapat izin untuk masuk oleh petugas keamanan kampus, kami pun
nekat berbuat anarkis,” kamu menghela napas sejenak, sebelum kembali
melanjutkan.
“Aku yang sudah tidak bisa mengendalikan emosi
langsung memukul kaca jendela ruangan, dan tanpa sadar pecahannya mengenai
salah seorang mahasiswa baru, beruntung mahasiswa tersebut tidak terluka
parah,” katamu sambil tertunduk diakhir kalimatmu.
Aku yang melihat
perubahan ekspresimu, mencoba bersuara.
“Lalu, berapa lama lagi
masa tahananmu,” tanyaku ketika itu.
“Entahlah, aku sudah
tidak bisa menghitung berapa lama lagi aku disini. Mungkin, lebih baik jika
selamanya aku disini saja,” jawabmu.
Kembali aku baru
memahami arti kata-katamu ketika itu. Meski, belum sepenuhnya kutahu apa
alasanmu berkata demikian.
Percakapan kita ketika
itu kamu akhiri dengan berucap bahwa harapan yang dulu kamu gaung-gaungkan
sewaktu SMA untuk menjadi seorang arsitek, kini telah kamu kubur dalam-dalam.
Aku mungkin tidak paham bagaimana menjadi kamu sepenuhnya. Tapi, aku bisa
merasakan seberapa hancurnya kita jika wisuda sudah di depan mata dan kita
harus menghadapi kenyataan nama kita dicoret dari daftar calon wisudawan bahkan
dicoret dari daftar mahasiswa. Yang tersisa hanyalah sia-sia dan menyesal.
Aku begitu larut dalam
ingatanku tentangmu. Karena terlalu fokus, akupun sudah tidak sadar bahwa aku
sudah berada didepan rumah. Kak Izzah yang sudah berbaik hati menjemputku di
lapas tadi, tiba-tiba membuyarkan pikiranku tentangmu.
Ya, hari ini, aku
kembali mendapatimu dalam keadaan yang jauh berbeda dari pertemuan pertama kita
di lapas. Muara disetiap pertemuan kita hanyalah rasa kagum, dan sedikit rasa
tidak percaya.
Hari berganti hari,
minggu berganti minggu. Kini, kunjunganku tidak seintens beberapa bulan yang
lalu. Aku harus meluangkan waktu untuk sedikit fokus pada penyelesaian tesisku
yang sebentar lagi akan menghadapi babak baru. Minggu ini mungkin sudah minggu
ketiga aku tidak ke lapas mengunjungimu. Hingga akhirnya, malam ini kuputuskan
untuk mengunjungimu esok hari.
Keesokan harinya, aku
betul-betul berada di lapas ini lagi. Sambil menunggumu selesai mengajar
narapidana mengaji, aku bertemu dengan Pak Djoko terlebih dahulu.
Berbincang-bincang sedikit, saling menanyakan kabar. Tiba-tiba kamu datang dan
Pak Djoko mempersilahkan kita untuk bicara sambil meminta diri untuk kembali
pada aktifitasnya.
“Tampaknya kamu
semangat sekali hari ini,” ucapku membuka percakapan.
“Iya nih. Tadi, didalam
ada salah seorang teman yang baru saja khatam Al-Qur’an”.
Kamu memang pantas
menjadi kebanggaan. Pantas pula jika pihak lapas dengan senang hati
membiarkanmu untuk tetap tinggal disini.
Tiba-tiba, muncul
dibenakku untuk menanyakan kebenaran atas percakapanku bersama Pak Djoko
beberapa waktu yang lalu. Tapi, belum sempat aku melontarkan pertanyaan,
telepon genggamku pun berdering. Ternyata telepon dari salah seorang teman
kampusku.
“Halo,
assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam, Mbak.
Segera ke kampus yah. Hari ini, Pak Bambang ingin bertemu dengan kita,”
jawabnya di ujung telepon.
“Ok deh. Makasih infonya
yah.”
Usai menutup telepon,
aku pun pamit.
“Dit, kapan-kapan kita
ngobrol lagi yah. Urusan kampus lagi nih,” kataku.
“Iya deh. Aku do’akan
semoga gelar masternya cepat nyangkut di belakang nama kamu.”
Beberapa menit
kemudian, aku sudah berada dalam perjalanan menuju kampus.
Minggu selanjutnya pun
tiba. Aku kembali berkunjung ke lapas. Kembali terlibat percakapan denganmu.
Kali ini, aku berusaha memberanikan diri untuk bertanya tentang percakapanku
bersama Pak Djoko.
“Dit, aku dengar kamu
sudah bebas sejak setahun yang lalu yah ?”
Kamu hanya mengangguk
sambil melempar senyum.
“Lalu, kenapa kamu
masih bertahan untuk tetap tinggal disini ?” aku kembali bertanya.
“Kalau aku keluar dari
sini apa kamu yakin keluargaku masih mau menerimaku ?”
“Loh, kenapa kamu
bilang begitu ? Pastilah keluargamu mengharapkan kamu hadir bersama mereka
lagi.”
“Sayangnya, apa yang
kamu bilang barusan tidak sesuai dengan kenyataannya. Keluargaku tidak pernah
ada yang menjengukku,” ada nada kekecewaan yang kutangkap dari perkataanmu
barusan.
“Bahkan, setelah aku dibebaskan, keluargaku
tidak pernah sedikitpun mencari keberadaanku. Menanyakan kabar saja tidak.
Mereka tampaknya sudah merasa malu dan terpukul akibat ulahku,” lanjutmu.
“Yah, kalau seperti
itu. Kenapa kamu tidak mencoba mencari sesuatu yang baru diluar sana ?”
“Untuk apa ? Saya
merasa senang kok disini. Saya bahkan merasa disinilah keluargaku. Para
narapidana yang ada didalam sudah menjadi bagian dari hidupku,” jelasmu.
Perkataanmu barusan seolah menjadi kail air matamu.
“Sebenarnya, ini bukan
sepenuhnya masalah keluarga. Tapi, aku takut. Jika akhirnya nanti aku keluar,
aku hanya menjadi seonggok daging dan tulang yang tak bermakna. Lebih baik aku
disini, karena disinilah aku merasa lebih dekat dengan Allah,” air matapun
akhirnya tumpah dari matamu. Namun sama sekali tidak mengurangi ketegaranmu
dimataku.
Aku kini telah mengerti
sepenuhnya atas perubahan-perubahanmu. Hidup ini memang penuh dengan pilihan.
Sadar atau tidak sadar, kamu pun telah memilih jalanmu. Begitupun dengan aku
dengan pilihanku.
Dalam hatiku, dengan
mata yang masih terus menatapmu, aku berharap.
“Semoga pilihanku
seberharga pilihanmu, kawan”.
TAMAT.
Cerpen ini telah
diikutsertakan dalam dua event lomba
berskala lokal dan nasional yang diadakan oleh pascasarjana Universitas Negeri
Makassar jurusan Bahasa serta lomba cerpen Ramadhan Salman yang diadakan oleh
kampus Institut Teknologi Bandung. Dengan sedikit mengubah beberapa redaksi
kalimat pada setiap lomba.
4 komentar:
cerpen nya sangat seru dan rame
Kehidupan terus berjalan,,selalu ada terang dibalik kegelapan yang mendera, tapi yakinlah,,cahaya ilahi selalu ada dalam jiwa...
@toko penjual ace maxs: Makasih yaa sudah baca :)
@Adhy Cassanova: terima kasih, kak :)
Posting Komentar