Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Blogger Template From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selamat Membaca dan Terima Kasih atas Kunjungannya

Senin, 12 Agustus 2013

Cerpen : CAHAYA DI BALIK JERUJI BESI

“Apa kabarmu hari ini ?” Aku tiba-tiba muncul dibelakangmu yang kuperhatikan tengah sibuk melipat sajadah usai shalat duhur.
Pertanyaanku yang sama tiba-tibanya dengan kehadiranku di sisimu kali ini ternyata betul membuatmu kaget, dan itu tampak sekali dari raut wajahmu. Sejak kita bertemu kembali pertama kali di tempat ini sebulan yang lalu, aku sepertinya selalu membuatmu kaget. Sama kagetnya aku ketika bertemu kamu ditempat ini. Tempat yang tidak pernah terbayangkan olehku akan dihuni olehmu.
“Eh kamu. Alhamdulillah baik. Masih penelitian disini yah ?” tanyamu.
“Bukan. Penelitianku sudah selesai seminggu yang lalu.”
“Oh yah ? Lalu, untuk apa kamu kesini ?” Pertanyaanmu kali ini terkesan sinis kepadaku. Entah, apakah kamu benar-benar sinis, malu ataukah kedatanganku yang tidak tepat kali ini.
“Sekadar jalan-jalan saja. Apa kamu tidak suka dengan kedatanganku ?” pertanyaanku barusan tampaknya memaksamu untuk melemparkan senyum kepadaku. Ya, senyuman sebagai penawar atas pertanyaanmu yang kuanggap sinis tadi.
Masih dengan senyumanmu, kamu seraya berjalan ke arahku. Semakin dekat. Hingga akhirnya kita kembali duduk berdua di teras masjid. Persis ketika pertama kali kita bertemu kembali di tempat ini sebulan yang lalu. Meski tak jarang pula kudapati sosokmu di balik jeruji besi, bilik barumu kini.
“Jadi, penelitianmu sudah selesai ?” Tanyamu kembali. Entah untuk memastikan tujuan kedatanganku kali ini atau hanya sekadar basa-basi.
Siang itu kita hanya berbincang sebentar. Meski demikian, aku tetap saja kagum terhadapmu. Untuk hal yang satu ini, kamu memang baru memilikinya dan inilah alasan kenapa aku selalu memiliki keinginan untuk datang berkunjung. Padahal awalnya ketika pembagian tugas penelitian aku bahkan ingin menolak ditempatkan di lembaga pemasyarakatan ini.

Setiap minggu selalu kusempatkan diriku untuk mengunjungimu. Berbagi cerita. Dan tak terasa kini telah memasuki bulan kelima saya selalu berkunjung kesini. Tapi, tidak lagi ditempat kita sering bertemu. Itu karena aksesku sekarang sudah terbatas. Jika dulu saya diperbolehkan untuk masuk hingga di depan bilikmu, kali ini kita hanya bisa bertemu diruang khusus untuk para pengunjung narapidana. Jika dulu saya datang kesini untuk meneliti, kali ini saya datang khusus untuk mengunjungimu.
Selalu saja ada yang menggelitik hatiku untuk bertemu denganmu. Aku selalu saja merasa memiliki semangat yang baru ketika percakapan kita usai.
Persis pada kunjunganku hari ini, seorang penjaga lapas tiba-tiba menghentikan langkahku ketika jam kunjunganku habis dan aku harus segera meninggalkan tempat ini.
“Maaf, Mbak ini teman dekatnya Adit yah ?” Tanya penjaga lapas yang kutahu dari papan nama dibajunya bernama Djoko.
“Bukan pak, kami hanya sebatas teman. Ada apa yah pak ?”
“O… begitu yah. Kalau tidak salah mbak kan yang dulu pernah meneliti disini ?”
“Betul pak,” jawabku dengan benak yang masih penuh dengan tanda tanya. Ada apa saya ditanya seperti ini. 
Melihat raut wajahku yang sedikit kebingungan, Pak Djoko akhirnya mengajakku untuk berbincang-bincang diruangannya. Percakapan kami pun berlanjut.
“Jadi, gimana hasil penelitiannya kemarin, Mbak ?” Pak Djoko kembali memulai percakapan kami.
“Alhamdulillah, diapresiasi dengan baik oleh dosen pembimbing, Pak. Oh iya, ngomong-ngomong, tadi kenapa Bapak bertanya tentang Adit ?” Tanyaku yang masih diliputi rasa penasaran.
“Yah. Sepertinya, Mbak penasaran sekali yah ?”
 “Baiklah, memang itu tujuan saya memanggil Mbak, karena saya perhatikan Mbak cukup sering kesini mengunjungi Adit. Tahu tidak, cuma Mbak yang sering kesini mengunjungi Adit. Bahkan keluarganya, tak seorang pun yang pernah terlihat mengunjunginya.” Pak Djoko mengakhiri penuturannya.
Aku pun sontak kaget mendengar penuturan penjaga lapas ini. Aku seakan tidak percaya. Seorang Adit yang setahuku memiliki keluarga besar, mana mungkin tidak pernah dikunjungi oleh salah seorang keluarganya.
“Ah, yang benar, Pak ?”
“Benar, Mbak. Saya akui bahwa Adit itu sosok pemuda yang tangguh. Jarang saya melihat mantan narapidana yang umurnya masih muda seperti dia memiliki kepribadian yang seperti itu,” jawab Pak Djoko dengan mimik wajah yang menampakkan kekaguman.
“Apa maksud Bapak ? Kok, Bapak bilang Adit mantan narapidana ? Sementara sekarang ia masih di dalam lapas,” aku semakin tidak mengerti alur percakapanku dengan Pak Djoko.
Pak Djoko menarik napas panjang seolah-olah ia akan bercerita panjang tentang Adit.
“Ya, Adit sekarang sudah berstatus mantan narapidana, Mbak. Setelah ia dinyatakan bebas setahun yang lalu. Ia malah tidak mau keluar dari lapas dan memohon pihak lapas untuk mengizinkannya tetap tinggal disini.”
“Alasannya apa, Pak ?”
“Adit bilang kalau ia lebih baik tinggal disini, daripada ia keluar dan tidak diterima di keluarganya. Kami pihak lapas pun sudah mencoba meyakinkan Adit untuk kembali menemukan cita-citanya diluar. Tapi, ia ngotot untuk terus tinggal di lapas sambil membantu napi yang lain belajar mengaji,” jawab Pak Djoko
“Katanya, ia lebih berguna jika tetap tinggal disini,” lanjutnya.
Tidak terasa, aku dan Pak Djoko terlibat percakapan yang cukup panjang. Suara adzan dari menara masjid lapas yang akhirnya menghentikan percakapan kami. Belum lagi suara muadzin yang begitu merdu menggaung ke pelosok lapas.
“Itu pasti suara Adit,” gumamku dalam hati.
Aku dan Pak Djoko pun akhirnya sepakat untuk melanjutkan percakapan kami pada kesempatan lain. Meski, benakku masih dipenuhi tanda tanya, aku pun harus bergegas pulang.
Dalam perjalanan pulang, pikiranku terus menerawang sosok Adit. Aku masih belum mengerti, mengapa ia sampai tidak mau mencoba menemukan cita-citanya diluar. Aku masih ingat semangatnya ketika SMA dulu ia sangat ingin melanjutkan kuliah di jurusan teknik arsitektur. Sewaktu SMA, Adit memang terkenal sebagai salah seorang siswa yang pandai, meski agak sedikit sombong karena ia adalah anak bungsu dari keturunan keluarga yang cukup terpandang.
Keadaan yang sama sekali tak pernah terpikirkan, ternyata bisa juga terjadi. Jika dulu orang-orang menganggapmu sempurna, kali ini tidak lagi. Kamu memang bukan lagi kebanggaan keluargamu, tapi kini kamu menjadi kebanggaan orang-orang yang ternyata betul-betul membutuhkanmu. Termasuk saya yang kini betul-betul kagum terhadapmu. Lagi-lagi saya kagum, dan rasanya saya sudah tidak sabar untuk mengunjungimu kembali.
Masih tentang kamu, tiba-tiba aku teringat percakapan kita beberapa bulan yang lalu, ketika kita bertemu pertama kali di lapas.
Ketika itu hari pertama penelitianku, aku melintas didepan deretan bilik narapidana dengan ditemani seorang penjaga lapas. Disela-sela perjalananku, tiba-tiba suaramu yang tengah melantunkan ayat suci Al-Quran menghentikan langkahku didepan bilikmu. Kehadiranku saat itu, ternyata telah mengganggumu beserta dua orang temanmu di dalam bilik. Sadar ada orang yang tengah memperhatikanmu, kamu pun berbalik. Kita saling menatap. Sontak saya kaget.
“Adit ?” Ucapku.
Kamu berdiri sambil memberi salam kepadaku. Kamu terlihat kikuk dan berusaha mengontrol diri. Meski begitu, kamu terlihat sama kagetnya denganku. Kamu pun akhirnya memberi isyarat kepada penjaga lapas yang masih setia menemaniku untuk membuka gembok jejeran besi yang menghalangi kita. Waktu itu, saya masih tidak mengerti, mengapa kamu begitu gampangnya keluar masuk bilik sesukamu. Dan baru hari ini saya mengerti akan hal itu.
“Bagaimana ceritanya kamu bisa ada disini ?”
“Panjang ceritanya. Takutnya kalau aku ceritakan, kamu malah tidak percaya,” penuturanmu yang terkesan bercanda ketika itu membuatku betul-betul merasa bahwa dihadapanku itu bukanlah kamu. Kamu yang kukenal tidak humoris, ternyata kini telah betul-betul berubah.
Kamu seakan sudah tahu akan kemana arah percakapan kita, karena tanpa menunggu serangan pertanyaan selanjutnya dariku, kamu lantas berujar.
“Sudah hampir dia tahun aku disini. Aku terlibat aksi anarkis di kampus dua tahun yang lalu, aku lantas di drop out dari kampus oleh om ku yang tidak lain adalah rektor. Dunia ternyata bisa adil juga yah untuk orang sepertiku,” katamu.
Aku yang masih tidak percaya, hanya bisa diam dan terus memperhatikan setiap perubahan cara bicaramu. Kamu betul-betul jauh berbeda.
“Yah, waktu itu kuliah umum untuk para mahasiswa baru sedang berlangsung di kampus. Aku bersama sepuluh orang teman lainnya datang dan mencoba menghentikan kegiatan kampus. Karena tidak mendapat izin untuk masuk oleh petugas keamanan kampus, kami pun nekat berbuat anarkis,” kamu menghela napas sejenak, sebelum kembali melanjutkan.
 “Aku yang sudah tidak bisa mengendalikan emosi langsung memukul kaca jendela ruangan, dan tanpa sadar pecahannya mengenai salah seorang mahasiswa baru, beruntung mahasiswa tersebut tidak terluka parah,” katamu sambil tertunduk diakhir kalimatmu.
Aku yang melihat perubahan ekspresimu, mencoba bersuara.
“Lalu, berapa lama lagi masa tahananmu,” tanyaku ketika itu.
“Entahlah, aku sudah tidak bisa menghitung berapa lama lagi aku disini. Mungkin, lebih baik jika selamanya aku disini saja,” jawabmu.
Kembali aku baru memahami arti kata-katamu ketika itu. Meski, belum sepenuhnya kutahu apa alasanmu berkata demikian.
Percakapan kita ketika itu kamu akhiri dengan berucap bahwa harapan yang dulu kamu gaung-gaungkan sewaktu SMA untuk menjadi seorang arsitek, kini telah kamu kubur dalam-dalam. Aku mungkin tidak paham bagaimana menjadi kamu sepenuhnya. Tapi, aku bisa merasakan seberapa hancurnya kita jika wisuda sudah di depan mata dan kita harus menghadapi kenyataan nama kita dicoret dari daftar calon wisudawan bahkan dicoret dari daftar mahasiswa. Yang tersisa hanyalah sia-sia dan menyesal.
Aku begitu larut dalam ingatanku tentangmu. Karena terlalu fokus, akupun sudah tidak sadar bahwa aku sudah berada didepan rumah. Kak Izzah yang sudah berbaik hati menjemputku di lapas tadi, tiba-tiba membuyarkan pikiranku tentangmu.
Ya, hari ini, aku kembali mendapatimu dalam keadaan yang jauh berbeda dari pertemuan pertama kita di lapas. Muara disetiap pertemuan kita hanyalah rasa kagum, dan sedikit rasa tidak percaya.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini, kunjunganku tidak seintens beberapa bulan yang lalu. Aku harus meluangkan waktu untuk sedikit fokus pada penyelesaian tesisku yang sebentar lagi akan menghadapi babak baru. Minggu ini mungkin sudah minggu ketiga aku tidak ke lapas mengunjungimu. Hingga akhirnya, malam ini kuputuskan untuk mengunjungimu esok hari.
Keesokan harinya, aku betul-betul berada di lapas ini lagi. Sambil menunggumu selesai mengajar narapidana mengaji, aku bertemu dengan Pak Djoko terlebih dahulu. Berbincang-bincang sedikit, saling menanyakan kabar. Tiba-tiba kamu datang dan Pak Djoko mempersilahkan kita untuk bicara sambil meminta diri untuk kembali pada aktifitasnya.
“Tampaknya kamu semangat sekali hari ini,” ucapku membuka percakapan.
“Iya nih. Tadi, didalam ada salah seorang teman yang baru saja khatam Al-Qur’an”.
Kamu memang pantas menjadi kebanggaan. Pantas pula jika pihak lapas dengan senang hati membiarkanmu untuk tetap tinggal disini.
Tiba-tiba, muncul dibenakku untuk menanyakan kebenaran atas percakapanku bersama Pak Djoko beberapa waktu yang lalu. Tapi, belum sempat aku melontarkan pertanyaan, telepon genggamku pun berdering. Ternyata telepon dari salah seorang teman kampusku.
“Halo, assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam, Mbak. Segera ke kampus yah. Hari ini, Pak Bambang ingin bertemu dengan kita,” jawabnya di ujung telepon.
“Ok deh. Makasih infonya yah.”
Usai menutup telepon, aku pun pamit.
“Dit, kapan-kapan kita ngobrol lagi yah. Urusan kampus lagi nih,” kataku.
“Iya deh. Aku do’akan semoga gelar masternya cepat nyangkut di belakang nama kamu.”
Beberapa menit kemudian, aku sudah berada dalam perjalanan menuju kampus.
Minggu selanjutnya pun tiba. Aku kembali berkunjung ke lapas. Kembali terlibat percakapan denganmu. Kali ini, aku berusaha memberanikan diri untuk bertanya tentang percakapanku bersama Pak Djoko.
“Dit, aku dengar kamu sudah bebas sejak setahun yang lalu yah ?”
Kamu hanya mengangguk sambil melempar senyum.
“Lalu, kenapa kamu masih bertahan untuk tetap tinggal disini ?” aku kembali bertanya.
“Kalau aku keluar dari sini apa kamu yakin keluargaku masih mau menerimaku ?”
“Loh, kenapa kamu bilang begitu ? Pastilah keluargamu mengharapkan kamu hadir bersama mereka lagi.”
“Sayangnya, apa yang kamu bilang barusan tidak sesuai dengan kenyataannya. Keluargaku tidak pernah ada yang menjengukku,” ada nada kekecewaan yang kutangkap dari perkataanmu barusan.
 “Bahkan, setelah aku dibebaskan, keluargaku tidak pernah sedikitpun mencari keberadaanku. Menanyakan kabar saja tidak. Mereka tampaknya sudah merasa malu dan terpukul akibat ulahku,” lanjutmu.
“Yah, kalau seperti itu. Kenapa kamu tidak mencoba mencari sesuatu yang baru diluar sana ?”
“Untuk apa ? Saya merasa senang kok disini. Saya bahkan merasa disinilah keluargaku. Para narapidana yang ada didalam sudah menjadi bagian dari hidupku,” jelasmu. Perkataanmu barusan seolah menjadi kail air matamu.
“Sebenarnya, ini bukan sepenuhnya masalah keluarga. Tapi, aku takut. Jika akhirnya nanti aku keluar, aku hanya menjadi seonggok daging dan tulang yang tak bermakna. Lebih baik aku disini, karena disinilah aku merasa lebih dekat dengan Allah,” air matapun akhirnya tumpah dari matamu. Namun sama sekali tidak mengurangi ketegaranmu dimataku.
Aku kini telah mengerti sepenuhnya atas perubahan-perubahanmu. Hidup ini memang penuh dengan pilihan. Sadar atau tidak sadar, kamu pun telah memilih jalanmu. Begitupun dengan aku dengan pilihanku.
Dalam hatiku, dengan mata yang masih terus menatapmu, aku berharap.
“Semoga pilihanku seberharga pilihanmu, kawan”.

TAMAT.


Cerpen ini telah diikutsertakan dalam dua event lomba berskala lokal dan nasional yang diadakan oleh pascasarjana Universitas Negeri Makassar jurusan Bahasa serta lomba cerpen Ramadhan Salman yang diadakan oleh kampus Institut Teknologi Bandung. Dengan sedikit mengubah beberapa redaksi kalimat pada setiap lomba.

4 komentar:

toko penjual ace maxs mengatakan... Reply Comment

cerpen nya sangat seru dan rame

Adhy Cassanova mengatakan... Reply Comment

Kehidupan terus berjalan,,selalu ada terang dibalik kegelapan yang mendera, tapi yakinlah,,cahaya ilahi selalu ada dalam jiwa...

nurjayantitakwa.blogspot.com mengatakan... Reply Comment

@toko penjual ace maxs: Makasih yaa sudah baca :)

nurjayantitakwa.blogspot.com mengatakan... Reply Comment

@Adhy Cassanova: terima kasih, kak :)

Posting Komentar

 

Please Smile...!!!

Segalanya akan indah jika kita menyadari bahwa tak ada di dunia ini yang sia-sia